REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menyoroti kebijakan baru WhatsApp (WA) berpeluang menghilangkan ranah privasi pengguna. Perusahaan WA yang berinduk pada Facebook dianggap bisa mengintip percakapan penggunanya.
Peneliti CISSReC Ibnu Dwi Cahyo menjelaskan pembaharuan semacam ini biasa terjadi dimana tujuannya untuk keperluan iklan. Untuk Facebook dan Instagram, kata Ibnu merupakan platform terbuka sehingga tiap postingan bisa dilihat siapa saja. Ia menyayangkan ketika kebijakan serupa diterapkan pada WA.
"Kalau WA platform tertutup. Karena chatting tertutup sama orang yang kita mau, minimal orang harus tahu nomor kita. Status WA juga bisa dilihat hanya dengan orang yang disimpan kontaknya," kata Ibnu pada Republika.co.id, Selasa (12/1).
Ibnu menekankan masalah muncul ketika WA yang merupakan platform tertutup justru dimonetisasi. Ia meyakini pihak penyedia layanan WA pasti membuka data percakapan demi kebutuhan monetisasi. Nantinya hasil percakapan dapat menentukan iklan semacam apa yang bisa ditawarkan pada si pengguna akun.
"Tidak mungkin FB (induk WA) bilang enggak akan lihat percakapan, minimal mereka tahu yang diperbincangkan nomor itu. Monetisasi kan lihat akun kebiasannya. Padahal nomor itu privat, tapi ketahuan di grup WA ngomongin apa, sukanya apa, lokasinya dimana," ungkap Ibnu.
Ibnu merasa khawatir kebijakan baru WA ini dapat berdampak panjang, khususnya pada keamanan dalam negeri Indonesia. Pihak perusahaan atau negara lawan dapat dengan mudah mengetahui profil masyarakat Indonesia.
"Yang diambil bukan cuma data suka belanja apa saja, tapi preferensi politik, olahraga dan semua yang sifatnya privasi diambil semua oleh FB. Ini sangat berbahaya. Bisa jadi untuk asimetrik warfare," ucap Ibnu.