Senin 18 Jan 2021 07:54 WIB

Sayidiman Suryohadiprojo, Guru Para Jenderal

Bagi Sayidiman, lulusan Akmil bukan hanya kuat di dengkul, tapi kuat juga di otak.

Mantan Wakil KSAD dan Gubernur Lemhannas Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo (tengah) wafat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakpus, Sabtu (16/1).
Foto: Dok
Mantan Wakil KSAD dan Gubernur Lemhannas Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo (tengah) wafat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakpus, Sabtu (16/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Suatu ketika pada sekitar 2011, saya mendatangi rapat alumni Akademi Militer (Akmil) Bandung 1962 di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saya memang sudah berjanji akan datang menemui para purnawirawan TNI tersebut.

Beberapa di antaranya, adalah mantan Waka Bais TNI Letjen TNI (Purn) Arie Sudewo (Korps Zeni), mantan Sekjen MPR Letjen TNI (Purn) Afif Maroef (Korps Peralatan/Teknik Mesin), mantan Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Mayjen TNI (Purn) Santo Budiono (Korps Perhubungan/Teknik Eelektro), serta mantan Kasdam Tanjungpura dan Direktur Zeni AD Brigjen TNI (Purn) AA Barnadi (Korps Zeni).

Ketika saya tanyakan tentang figur guru mereka saat di Akmil, yakni Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, mereka langsung membetulkan posisi duduk. Menjadi lebih tegak. Itulah bentuk penghormatan mereka yang ditunjukkan dalam bahasa tubuh tentara.

Sayidiman pernah menjadi guru militer sekaligus Komandan Resimen Taruna Akmil Bandung pada 1961-1962. Kemudian menjadi Wakil Asisten Operasi KSAD. Akmil di Bandung merupakan saudara kembar dari Akmil di Magelang. Khusus di Bandung, awalnya (1951-1958) hanya untuk Korps Zeni.

Kemudian (1958-1964) ditambah lagi untuk Korps Perhubungan dan Korps Peralatan. Sedangkan di Akmil Magelang (sejak 1957) untuk Korps Infanteri, Korps Kavaleri, Korps Artileri Medan, dan Korps Artileri Pertahanan Udara.

Terbaik

Akmil Bandung dan Magelang merupakan kelanjutan dari Militaire Academie (MA) atau Akmil Yogyakarta 1945-1950 yang hanya menghasilkan dua angkatan lulusan. Sayidiman adalah lulusan terbaik ketiga di Akademi Militer Yogyakarta. Ia letting (angkatan) pertama (1948) dari Korps Infanteri. Abituren (lulusan) Akmil angkatan 1 (1945-1948) sebanyak 198 kadet dan angkatan kedua (1946-1950) sebanyak 169 kadet.

Sebagai lulusan terbaik pertama, Koen Soerjo Atmodjo; kedua, Soebroto; dan ketiga, Sayidiman Suryohadiprojo. Namun Koen dan Soebroto mengundurkan diri saat masih berpangkat Letnan. Soebroto terakhir menjadi Menteri Pertambangan dan Energi era Presiden Soeharto. Jadi lulusan terbaik tinggal menyisakan Sayidiman.

Beberapa lulusan Akmil 1948 yang saya kenal, antara lain Jenderal TNI (Hor/Purn) Soesilo Soedarman (mantan Menko Polkam), Letjen TNI (Purn) Wiyogo Atmodarminto (mantan Gubernur DKI Jakarta), Letjen TNI (Purn) Himawan Sutanto (mantan Panglima Kostrad), Letjen TNI (Purn) Julius Henuhili (mantan Danjen Akabri), serta Letjen TNI (Purn) Seno Hartono (mantan Pangkowilhan IV/Sulawesi).

Sayidiman lulusan Fuhrungs Akademie Hamburg, Jerman tahun 1956. Serta lulusan Seskoad Bandung 1964-1965. Sayidiman kaya pengalaman tempur, mulai dari melawan tentara Belanda saat perang kemerdekaan juga melawan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Saat menjadi taruna, mereka juga sudah terjun dalam operasi pertempuran.

Fisik infanteri, otak teknik

Menurut para lulusan Akmil 1962 Bandung, Sayidiman yang saat itu berpangkat Kolonel Infanteri, antara lain mengajar strategi perang. Tentu saja berdasarkan pengalamannya dalam bergerilya, termasuk menghadapi musuh dalam perang konvensional. Ia ingin taruna dari Korps Teknik tidak kalah dengan taruna dari Korps Infanteri dari sisi fisik dan strategi perang. “Fisik harus seperti infanteri dan otak sebagai orang teknik yang cerdas.”

Bagi Sayidiman, lulusan Akmil harus kuat fisiknya dan cerdas otaknya. Bukan hanya kuat di dengkul, tapi kuat juga di otak. Intelektualnya harus terasah. Tentara teknik, kata Sayidiman, sesungguhnya tentara infanteri plus teknik. Harus siap jika bertempur sebagai pasukan infanteri.

Maka gemblengan fisik pun dengan menerapkan standar yang sama dengan pasukan infanteri. Kelak dibuktikan oleh Arie Sudewo yang berhasil menjadi pasukan komando (Kopassus). Termasuk kegigihan intelijen yang dilakukan Letnan Piere Tendean, lulusan Akmil Bandung 1961.

Ia berhasil dalam beberapa kali tugas intelijen ke Singapura, pada 1964-1965. Ada panggilan sandi bagi para lulusan Akmil Bandung terhadap Sayidiman, yakni Gojin. Gojin merupakan nama instruktur yang ditakuti saat operasi DI/TII di Jawa Barat.

Keras, tegas, dan beringas. Nama itu kemudian justru dijadikan sandi untuk julukan kepada Sayidiman. “Hati-hati ada Gojin lewat …” Artinya Kolonel Sayidiman masuk kelas untuk mengajar.

Guru para jenderal

Ya, bagi mereka, Sayidiman adalah gurunya para jenderal. Walaupun beberapa lulusan Akmil Bandung ada yang berpangkat Letjen, sama seperti pangkat Sayidiman, namun rasa hormat yang tinggi diberikan kepada sang guru. Begitu juga mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, lulusan Akmil Bandung 1959. Walaupun berpangkat Jenderal bintang empat, ia hormat kepada Sayidiman.

Kini, saksi-saksi pertempuran 1945-1949, juga Operasi Penumpasan Komunis di Madiun 1948, serta pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, sudah tidak banyak lagi. Sebelumnya, saya mengenal almarhum Letjen TNI (Purn) Seno Hartono. Saya terakhir mewawancarai Seno Hartono di rumahnya di Bandung, April 2011.

Saat itu, Seno dalam posisi terbaring di tempat tidurnya. Saya memintanya menceritakan kisah pasukan komando Kopassus melawan pasukan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Paraku merupakan sayap bersenjata di bawah naungan NKCP (North Kalimantan Communist Party), sebuah partai politik komunis yang berlokasi di Sarawak, Malaysia.

Brigjen Seno Hartono saat itu menjadi Panglima Kodam Tanjungpura. Ia mengetahui aksi pasukan komando, antara lain Kapten (Infanteri) Hendropriyono yang berhasil menumpas komunis di Kalimantan.

TNI kini kehilangan jenderal terakhir lulusan Akmil 1948, Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Wafat dalam usia 93 tahun, karena sakit di RSPAD Gatot Subroto, Sabtu (16/1/2021).

Almarhum pernah menjadi Pangdam Hasanuddin (1968-1970), Aspers Kementerian Pertahanan dan Kopkamtib (1970-1973), Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (1973-1974), Gubernur Lemhannas (1974-1978), Dubes RI untuk Jepang, dan pengajar pascasarjana Universitas Indonesia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement