Oleh : Eko Widiyatno*
REPUBLIKA.CO.ID, Berapa waktu lalu, publik kembali diramaikan dengan gelontoran besar impor asal Vietnam dan Thailand di pasaran. Sejauh ini, beras impor baru ditemukan di Pasar Induk Cipinang Jakarta. Namun keberadaan beras di pasar beras utama di ibukota ini, bagaimana pun akan mempengaruhi harga beras lokal yang sebelumnya stagnan di kisaran harga pedoman pemerintah (HPP).
Sejauh ini belum bisa dipastikan siapa yang sebenarnya 'bermain' menggelontorkan beras impor di pasaran dalam negeri. Namun masalah beras impor yang membanjir di pasaran dalam negeri, bukan hanya baru kali ini terjadi. Berulangkali juga kita disuguhkan kenyataan dimana pada saat petani sedang panen raya, pemerintah justru mengambil memasukkan beras impor.
Meski pun impor beras ini dibungkus dengan kalimat 'beras yang diimpor adalah beras premium, kenyataannya seringkali beras impor itu masuk pasar lokal dengan harga jual di bawah harga pasar.
Sebenarnya apa yang ada dibenak pengambil kebijakan dalam masalah tata niaga beras ini? Apakah benar-benar untuk mempertahankan stok pangan? Mengendalikan harga beras? Ataukah hanya untuk motif keuntungan yang bisa diperoleh dari selisih harga beras impor dengan harga beras lokal?
Beras, bagaimana pun merupakan komoditi utama. Sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia, harga beras akan sangat mempengaruhi inflasi. Beras naik, laju inflasi akan melonjak. Beras anjlok, laju inflasi akan rendah.
Namun dengan demikian, apakah kita harus terus mengorbankan nasib petani? Dengan dalih menjaga laju inflasi, harga beras harus ditekan? Jangan sampai terkerek, bahkan hanya sekadar diatas Harga Pembelian Pemerintah (HPP)?
Kalau memang demikian alasannya, maka apeslah nasib petani di Indonesia. Petani hanya akan menjadi tumbal, yang kehidupannya tidak boleh maju dengan profesi lain. Atas nama inflasi, harga beras tidak boleh naik. Panen atau tidak panen, pemerintah akan menjaga agar harga beras tetap terjaga.
Selama ini, penetapan HPP seringkali tanpa pertimbangan yang jelas. Sangat berbeda dengan instrumen Upah Minimum Buruh yang banyak sekali menggunakan rumus perhitungan. HPP, ibaratnya patokan upah bagi petani. Sedangkan UMK adalah patokan upah yang diperoleh buruh di sektor industri.
Namun kenyataannya, bila UMK ditetapkan setiap tahun, maka tidak demikian dengan HPP. Seringkali 3 tahun, bahkan 5 tahun pemerintah baru melakukan revisi HPP. Tak heran bila harga beras makin lama, makin jauh dari nilai inflasi.
Pada era tahun tahun 1970-1980-an, harga beras bisa disandingkan dengan harga emas. Petani yang baru panen, bisa menjual 1 kuintal gabah keringnya dengan harga yang sama dengan harga 1 gram emas. Karena itu, masa panen di era tersebut, ditandai dengan acara syukuran yang meriah.
Di pedesaan, pada malam-malam masa panen, rumah-rumah pemilik sawah akan terlihat terang benderang dengan sinar petromak. Keluarga buruh tani bersama-sama pemilik sawah, berkumpul merontokkan gabah dari malainya dengan cara digebuk pelepah kelapa. Mereka juga disuguh berbagai makanan dan minuman yang disediakan pemilik sawah. Saat ini, masa panen sudah bukan menjadi hal yang luar biasa.
Pada masa itu, petani maksimal hanya bisa mendapat hasil panen padi sebanyak 1-2 ton per hektar gabah basah. Sedangkan masa sekarang, produksi padi sudah meningkat berlipat-lipat meningkat dibanding masa lalu. Berkat kemajuan teknologi di sektor pertanian, produksi beras bisa mencapai hasil panen rata-rata 4-5 ton per hektar.
Namun apakah petani saat ini lebih makmur? Sama sekali tidak. Bahkan bukan hanya petani padi yang kondisinya mengenaskan, petani komoditas lainnya juga mengalami nasib nyaris serupa. Petani cabe, berulangkali kita disuguhkan harga cabai anjlok pada saat panen. Petani bawang merah di sentranya di Kabupaten Brebes, juga demikian.
Harga berbagai komoditas pertanian hanya akan meroket, bila petani justru sedang gagal panen atau mengalami paceklik. Namun pada saat panen, anjlok hingga ke dasar.
Dalam rumus ekonomi, sektor pertanian memang ibarat lingkaran setan. Harga naik, masyarakat menjerit. Harga anjlok, giliran petani yang merintih.
Untuk mengetahui lebih jelas kondisi petani, berapa sebenarnya keuntungan yang diperoleh petani, khususnya petani padi, dalam sekali panen? Dari setiap hektar sawah yang ditanami padi, petani umumnya bisa mendapat gabah basah atau meminjam istilah Bulog sebagai 'Gabah Kering Panen' (GKP), sebanyak rata-rata 4-5 ton per hektar. Setelah dikeringkan menjadi Gabah Kering Giling (GKG), gabah hasil panen ini menyusut menjadi rata-rata 3 ton.
Mengacu Permendag Nomor 24 Tahun 2020 yang merevisi besaran HPP dalam Inpres Nomor 5/2015, harga GKP di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 4.200 per kg atau Rp 420.000 per kuintal. Hanya naik Rp 500 per kg atau Rp 50 ribu per kuintal, dibanding Inpres HPP terakhir yang ditetapkan lima tahun lalu.
Sedangkan harga GKG, menurut Permendag tersebut, di tingkat penggilingan ditetapkan sebesar Rp 520.500 per kuintal dan di gudang Bulog Rp 530.000 per kuintal. Dibandingkan Inpres No 5 tahun 2015, harga GKP naik Rp 45.000 di tingkat penggilingan, dan naik Rp 55.000 per kuintal di gudang Bulog.
Bila hasil panen sedang baik, dengan hasil panen 4 ton per hektar, petani akan mengantongi uang hasil panen hasil penjualan GKP senilai Rp 16.800.000. Sedangkan bila dijual dalam bentuk GKG, petani mengantongi uang hasil panen Rp 15.600.000.
Yang perlu menjadi catatan, hasil panen ini adalah hasil panen optimal dimana tanaman padi tidak diserang hama. Kalau hanya diserang hama sundep, petani masih bisa berharap panen meski hasil panennya berkurang. Namun kalau diserang hama wereng dan tikus yang menjadi hama utama petani padi, seringkali patani harus gigit jari. Upaya pengendalian hama secanggih apa pun, sampai sekarang belum bisa mengendalikan serangan kedua jenis hama tersebut.
Kembali ke hasil panen, apakah dengan hasil Rp 15-16 juta ini, petani dapat untung? Ya, petani memang mendapat untung. Dengan biaya olah tanah, pembelian pupuk dan obat hama, petani yang mencapai Rp 7-8 juta per hektar, petani bisa mendapat untung sekitar Rp 7 juta per hektar. Itu kalau pupuk masih disubsidi pemerintah, sehingga petani bisa membeli pupuk dengan harga murah.
Dengan masa budidaya selama empat bulan dari olah tanah, sebar benih, hingga panen, maka setiap petani yang memiliki sawah 1 hektar, per bulan bisa mendapat keuntungan sekitar Rp 1,2 juta. Lumayan? Silakan kalkulasi sendiri.
Mohon diingat, data kepemilikan lahan petani sawah menurut BPS tahun 2017, hanya sekitar 0,4 hektar per petani. Itu angka rata-rata di seluruh Indonesia. Di Pulau Jawa, bisa lebih sempit lagi. Mungkin hanya berkisar 0,10-0,25 hektar per petani. Dengan tingkat kepemilikan sawah seperti itu, petani hanya mendapat keuntungan Rp 300.000 per bulan! Rasanya kebangetan kalau masih ada yang menganggap hasil panen sebesar itu lumayan.
Tapi sejauh ini, petani padi di Tanah Air memang merupakan elemen masyarakat yang paling sabar dan tabah. Sikap 'Nrimo ing Pandum' membuat mereka hanya bisa merintih, tanpa mau bersuara. Asal di rumah masih ada gabah atau ada beras tanpa harus membeli, mereka merasa sudah merasa tenteram.
Meski demikian, apakah pemerintah masih akan terus tutup mata terhadap nasib petani? Apakah petani tetap harus menjadi tumbal berbagai program pembangunan yang dilaksanakan? Kalau demikian, sudah selayaknya petani mendapat gelar pahlawan super.
*) Penulis adalah Wartawan Republika/petani