Jumat 05 Feb 2021 14:32 WIB

Belajar Jadi Pemimpin Profetik dari Nabi Sulaiman

Pemimpin negeri yang adil makmur dan kuat memiliki modal dan karakter positif.

Red: Karta Raharja Ucu
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia

Salah satu penentu kemajuan dan kejayaan bangsa adalah pemimpin. Karena pemimpin berperan sangat strategis dalam menggerakkan, mengarahkan, memotivasi, menginspirasi, dan memandu perjalanan suatu bangsa menuju masa depannya. Bangsa yang maju pada umumnya dipimpin oleh pemimpin visioner yang cerdas, memiliki kompetensi moral, kepemimpinan, komunikasi dan manajerial yang efektif, memahami psikologi dan aspirasi rakyat yang dipimpinannya.

Sebaliknya, pemimpin yang tidak cakap, tidak kompeten, dan tidak kredibel dipastikan akan merugikan rakyat yang dipimpinnya, bahkan mungkin tidak merasa perlu menjadi “pelayan masyarakatnya” (Sayyid al-qaumi khadimuhum). Apabila pemimpin tidak berpihak kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya, tetapi lebih memihak kepentingan asing atau pihak lain, masa depannya akan terancam menjadi negara gagal (daulah fasyilah). Karena itu, komitmen kebangsaan (nasionalisme) dan keberpihakan terhadap rakyat yang dipimpinnya tidak dapat ditawar atau digadaikan.

Kisah para Nabi dan Rasul yang dihadirkan Alquran sejatinya merupakan manifestasi “laboratorium kepemimpinan” yang patut dijadikan sebagai sumber pembelajaran politik dan kepemimpinan. Berbagai model kepemimpinan, mulai dari Nabi Adam AS, Nuh AS, Ibrahim, Musa AS, Sulaiman AS, dan puncaknya pada figur Nabi Muhammad SAW penting dijadikan sebagai bahan kajian dan refleksi untuk merancang kepemimpinan umat dan bangsa di masa depan, berbasis kepemimpinan profetik.