REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syafi'ie el-Bantanie, Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan
Siang terik ketika itu, pasukan Sa’ad bin Abi Waqash berhadap-hadapan dengan pasukan Persia yang dikomandoi panglima perangnya, Rustum, dalam medan jihad Qadisiyah. Jumlah pasukan yang jauh dari seimbang. Sekira 20 ribu pasukan muslim di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqash harus menghadapi sekira 200 ribu pasukan Persia di bawah komando Rustum. Sampai-sampai Rustum pun heran kekuatan apa yang menyalakan spirit pasukan Islam, sehingga berani maju menghadapi pasukannya meski kalah jauh jumlahnya.
Maka, Rustum pun mengirim delegasi untuk berbicara dengan Sa’ad bin Abi Waqash. Ditanyalah Sa’ad, “Mengapa kau datang ke sini dan untuk apa?”
“Kami datang untuk futuhat, yaitu membebaskan manusia dari penyembahan kepada makhluk menuju penyembahan hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, membebaskan manusia dari kezaliman menuju keadilan Islam, membebaskan manusia dari kebiadaban moral menuju kemuliaan adab Islam”.
Jawaban yang bening, terang benderang, dan bertenaga. Inilah rupanya mission statement Sa’ad sebagai panglima perang. Menariknya, mission statement tidak hanya menyala-nyala dalam dada Sa’ad sendiri. Melainkan, seluruh pasukan Islam yang turut serta sampai prajurit paling kroco, Ribih bin Amir ketika ditanya Rustum, untuk menguji apakah jawaban Sa’ad sama sampai ke prajurit paling kroco. Ternyata jawaban Ribih bin Amir, prajurit paling kroco, sama bening dan bertenaganya dengan Sa’ad bin Abi Waqash, panglima perang, “Kami datang untuk futuhat.”
Setelah bertanya mulai dari panglima perangnya, komandan pasukan kavaleri, komandan pasukan infantri, hingga prajurit paling kroco ternyata jawabannya sama, “Kami datang untuk futuhat”, Rustum pun menyadari ia dan pasukannya tidak akan mampu memenangkan perang Qadisiyah. Namun, Rustum harus tetap menegakkan kepalanya dan memompa semangat pasukannya. Perang Qadisiyah pun meletus dengan sengitnya. Akhirnya, pasukan Islam di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqash berhasil memenangkan peperangan dengan gemilang dan membebaskan Persia.
Medan jihad Qadisiyah menjadi saksi mata kekuatan mission statement bagi nyawa, darah, dan laju gerak organisasi, setelah tentu saja pertolongan Allah Yang Mahakuasa. Kesamaan mission statement menjadikan pasukan Islam di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqash mampu melipatgandakan kekuatannya. Sekaligus ini menjadi pembuktian kebenaran firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala,
“Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Anfal [8]: 65)
Medan Qadisiyah memberikan pelajaran penting bagi kita dalam berorganisasi. Dalam sebuah organisasi, apakah pucuk pimpinan, top management, middle management hingga ke level staf yang paling bawah memiliki mission statement yang sama bening dan bertenaganya layaknya Sa’ad bin Abi Waqash dan seluruh pasukannya? Maka, setiap organisasi harus mampu menjawab mengapa organisasi ini harus ada? Untuk apa keberadaannya?
Kemudian, setiap individu dalam organisasi tersebut mesti memahami pertanyaan mendasar tentang organisasinya di atas. Lalu, ia pun harus mampu menjawab mengapa ia berada di organisasinya sekarang ini? Untuk apa ia bergabung?
Jika semua entitas organisasi telah memahami dan menyadari pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, maka mudah untuk menginternalisasikan mission statement organisasi. Sampai di sini, setiap individu organisasi akan bergerak seirama dalam barisan yang kokoh. Maka, akan terjadi akselerasi laju gerak organisasi secara menakjubkan. Sehingga, visi organisasi semenantang apapun insya Allah akan mampu ditaklukkan.