Jumat 12 Mar 2021 07:03 WIB

Isra Mi’raj, Konsensus dan Kesetimbangan

Islam sangat menjungjung tinggi prinsip-prinsip kesetimbangan.

Dr. Asep Sahid Gatara, Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua APSIPOL.
Foto: dok pri
Dr. Asep Sahid Gatara, Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua APSIPOL.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dr Asep Sahid Gatara (Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua APSIPOL)

Isra Mi’raj, yang terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Muhammad SAW hijrah ke Madinah, memang menjadi salah satu peristiwa penting bagi perkembangan dakwah dan syariat Islam pasca tahun ke-10 kenabiannya. Pada Isra Mi’raj itu Beliau menempuh perjalanan spiritual penuh mukjizat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu perjalanan ke langit dan Sidrataul Muntaha. Perjalanan itu dilakukannya hanya dalam satu malam.

Secara garis besar peristiwa Isra digambarkan sekaligus diabadikan dalam QS Al-Isra, 17:1. Sementara peristiwa Mi’raj digambarkan dan diabadikan dalam Hadis, seperti terdapat dalam Kitab Shahih Muslim, Hadis Nomor 234.

Penggambaran sekaligus pengabadian seperti itu menunjukkan bahwa Isra Mi’raj bukan sekadar sebagai catatan historis biasa, namun sebagai jejak spiritual istimewa yang sarat dengan nilai-nilai teologis sekaligus politis. Suatu rangkaian nilai yang hadir bukan hanya sebagai pondasi pijakan serta tiang pengukuh ajaran-ajaran Islam lebih lanjut, namun juga (belakangan) sebagai haluan utama bagi perumusan dan penciptaan ruang-ruang kebaikan bersama bagi semesta umat manusia.

Shalat dan Ruang Konsensus

Ajaran Islam mendasar yang hadir pasca Isra Mi’raj adalah perintah menunaikan shalat wajib. Salah satu ritual Islam yang banyak menghadirkan hikmah-hikmah atau pelajaran-pelajaran bagi umat manusia yang beriman, baik yang berdimensi spiritual maupun sosial.  

Di antara pelajaran itu misalnya, bisa diperoleh ketika kita menyimak aspek di balik proses ditetapkannya sholat wajib lima waktu dan sebagai Rukun Islam yang kedua setelah Syahadat. Di sini shalat dijadikan salah satu barometer terdasar dalam menilai keutuhan kadar dan kekokohan pondasi keislaman bagi siapa saja yang mengakuinya. Karena itu, sholat adalah tiang agama Islam (ashsholat ‘imaduddin). 

Di balik segala proses rangkaian keluarnya perintah penunaian shalat wajib tersirat banyak makna. Di antara yang paling menonjol adalah adanya ruang negosiasi yang berujung pada konsensus atau kemupakatan. Ruang tersebut berada di tempat tertinggi di atas segala lapisan langit, yaitu Sidratul Muntaha. 

Sebagaimana diceritakan dalam Hadis Shohih Muslim bahwa di ruang itu, setelah sebelumnya Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril ditegursapakan dengan sejumlah Nabi terdahulunya (seperti Nabi Adam AS di langit pertama, Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakaria di langit kedua, Nabi Yusuf AS di langit ketiga, Nabi Idris AS di langit keempat, Nabi Harun AS di langit kelima, Nabi Musa AS di langit keenam, dan Nabi Ibrahim AS di langit ketujuh), shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada umat-Nya adalah lima puluh waktu dalam sehari semalam. 

Dalam dan melalui ruang itu berlangsung dialog antara Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah sekaligus sebagai wakil umat manusia dengan Allah SWT. Hasilnya, dengan pertimbangan kuasa kemanusiaan yang serba terbatas, disepakati dari sebelumnya lima puluh waktu menjadi lima waktu sehari semalam. Peristiwa itu menjadi praktik ‘konsensus illahiyah’ sekaligus ‘konsensus insyaniyah’ terbesar dalam sejarah agama-agama samawi. 

Dalam konteks itu, Nabi Muhammad SAW disamping tampil sebagai Rasul Allah SWT, juga benar-benar memperankan diri sebagai representasi umat manusia dengan memperhatikan sekaligus mengagregasi segala kemampuan dan kepentingan umat manusia, khususnya kemampuan dan kepentingan dalam pememenuhan segala hak-hak spiritualnya. 

Kesetimbangan

Nabi Muhammad SAW menempuh cara itu, salah satunya, agar segala praktik pemenuhan hak-hak spiritual umat manusia sebagai bekal menuju alam akhirat yang abadi tidak bertubrukan dengan praktik-praktik pemenuhan hak-hak material sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia yang fana.

Dari titik ini dapat ditekankan bahwa Islam sangat menjungjung tinggi prinsip-prinsip kesetimbangan. Yaitu, Islam menjadi agama di mana segala ajaranya senantiasa mempertimbangkan secara matang kemampuan dan kemaslahatan umat manusia. Khususnya kesetimbangan antara nilai dan sistem ketuhanan di langit dengan nilai dan sistem kemanusiaan di bumi. 

Kesetimbangan ini menunjukkan kerangka dasar Islam mengenai Ketuhanan yang Berkemanusiaan atau Berkebudayaan. Bahwa seluruh umat Islam dalam mempraktikan peribadahannya, baik cara mahdoh (langsung) maupun ghair mahdoh (tidak langsung), tidak boleh sekali-kali mengenyampingkan batas nilai-nilai kemanusiaan. 

Dalam konteks itu, istilah “Ketuhanan yang Berkebudayaan” yang pernah dikumandangkan Bung Karno di periode awal pendirian negara Indonesia menjadi relevan dan sangat bisa dipahami. Melalui frase itu, Bung Karno, sebagaimana tafsir kolumnis sekaligus budayawan Asep Salahudin (2017), tidak bermaksud menurunkan maqom ketuhanan menjadi “kebudayaan”, namun justru hendak menancapkan makna pada ekspresi beragama. 

Beragama itu hanya akan memiliki arti ketika tidak dicerabut dari dinamika kebudayaan yang melingkupinya. Di sini menurutnya, Bung Karno paham betul bahwa hanya spirit ketuhanan yang dihamparkan di atas pijakan kebudayaan yang membuat kaum beragama (berislam) itu bisa saling berempatik, tolong menolong dan mengapresiasi sesama manusia yang beragam dengan lapang.    

Di atas semua itu, Islam yang lahir pasca Mi’raj bisa dikatakan, bila meminjam salah satu istilah Jurgen Habermas tentang publik sphere-nya, berwajah deliberatif. Yaitu agama rahmatan lil’alamin dengan senantiasa menekankan dan mengekspresikan nilai-nilai dialog, kesetaraan, dan konsensus dalam setiap upaya penyelesaian terhadap segala permasalahan, seperti permasalahan sosial dan keagamaan yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan ataupun perselisihan-perselisihan. 

Dewasa ini, misalnya, permasalahan mengenai masih berkembang pesatnya paham radikalisme tidak terlepas dari praktik pewajahan Islam yang menekankan ideologi yang anti-dialog, ketidaksetaraan, beraroma kekuasaan dan kekayaan, dan pemaksaan. Di sampin itu, berupaya menjauhkan nilai dan sistem ketuhahan dari nilai dan sistem kebudayaan, termasuk nilai kemanusiaan. 

Padahal, sekali lagi, mengacu pada pelajaran di balik peristiwa Isra Mi’raj, Islam adalah lekat dengan ruang-ruang dialog yang penuh nalar, kesetaraan, dan konsensus. Di sini yang dipraktikan bukan memperlebar titik perbedaan dan pertengkaran, namun menebar titik persamaan dan perdamaian dalam setiap mengahadapi permasalahan. Suatu keadaan yang sesungguhnya diidealkan dalam pandangan dan pergerakan Islam berwajah deliberatif. 

Tentu implikasi yang bisa direngkuh, baik secara normatif maupun empirik, adalah pertama, Islam akan merdeka dari segala cengkraman radikalisme yang ditimbulkan oleh perbedaan yang gelap mata, pemaksaan yang membabi buta, dan pengkondisian sedemikian rupa. Dan kedua, Islam memberikan sumbangsih nyata bagi penguatan dunia yang berkesetimbangan. Semesta dunia yang ramah dan indah karena dibenahi hikmah-hikmah, termasuk hikmah Isra Mi’raj.  Wallahu’alam bi shawab.             

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement