REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Nugraheni, seorang pegawai pada sebuah lembaga independen pengawas persaingan usaha, kerap mendapat jadwal dinas keluar kota minimal sekali sebulan. Sesuai aturan pemerintah, ia pun harus selalu menunjukan surat keterangan hasil negatif tes cepat antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan.
“Waktu awal-awal sih suka agak cemas, tapi lama-lama jadi biasa. Tapi yang kadang-kadang bikin malas, karena skill petugas yang menangani beda-beda. Ada yang lembut jadi tidak terasa sakit, tapi banyak juga yang nyolokinnya ‘sadis’ sampai keluar air mata. Ada juga yang nyoloknya secukupnya sehingga terasa lebih nyaman,” ungkap perempuan berperawakan mungil itu tentang proses tes antigen yang sering ia alami, Jumat (4/6).
Tak beda jauh dengan Nugraheni, Dwi dan Mayra juga mengaku proses tes antigen sering menjadi momok tersendiri karena ketidaknyamanan yang mereka rasakan. “Sakit banget karena nyoloknya sampai ke belakang hidung, aku sampai sering nangis,” ujar Dwi, jurnalis yang selama masa pandemi ini sempat mendapatkan tugas liputan keluar kota.
Selain untuk keperluan bepergian, beberapa kali tes antigen juga harus ia alami saat masuk sebuah perkantoran/instansi untuk keperluan terkait tugas jurnalistiknya. “Kalau nggak pintar nakesnya dan terlalu dalam nyoloknya, memang suka sakit. Makanya, kalau ada alternatif tes cepat antigen yang lebih nyaman, saya mau juga,” timpal Mayra, pegawai Ditjen Migas yang hampir tiap minggu melakukan perjalanan dinas keluar kota.