REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: FAHMI AMHAR, Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial, Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)
Setiap tahun, minimal 200 ribu orang Indonesia berhaji. Karenanya, pantas orang bertanya-tanya ketika tahun ini haji dibatalkan. Memang alasannya teknis dan rasional, yakni Pemerintah Arab Saudi telat dengan pembagian kuota sehingga panitia Indonesia menjadi sulit.
Berapa pun kuota yang diberikan, tetap saja visanya harus diurus, penerbangan dan pemondokan harus di-booking, dan pesertanya harus divaksin. Itu tak bisa mendadak. Tidak bisa juga dibatalkan begitu saja jika sudah ada kontrak dan uang muka dibayarkan.
Tulisan ini tak ingin menambah panas polemik, tetapi memanfaatkan waktu "reses" ini untuk melihat ritual haji dari perspektif berbeda. Sekiranya haji dipandang sekadar rutinitas ritual, niscaya jutaan alumnus Tanah Suci hanya menghamburkan devisa negara.
Tulisan ini mencoba untuk menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang mengubah masyarakat dari yang bodoh ke yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.
Haji memiliki lima ritual inti: ihram, thawaf, sa'i, wukuf, dan melempar jumrah. Ihram adalah simbol penyucian diri. Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama dan mulia. Karena Allah al 'Adl (Mahaadil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil.
Karena Allah al-'Alim (Maha Berilmu), maka manusia cenderung suka pada ilmu baru. Dan karena Allah ar Rahman (Maha Penyayang), maka manusia suka disayang. Namun, di dunia dijumpai manusia yang curang, malas belajar, dan kejam terhadap sesama.
Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup kesombongan, kerakusan, kedengkian, atau kemalasan. Dari noda-noda inilah hati harus "diihramkan". Hati yang telah "ihram" lebih mudah menerima hidayah sehingga potensi diri manusia bisa dibangkitkan.
Agar bangkit selain butuh hati bersih, juga SOP, yaitu syariat-Nya. Pada syariat ini setiap pribadi yang beriman...