Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Seminggu ini, pro kontra penggunaan Ivermectin riuh sekali. Lucunya, isu ini bukan berawal dari obrolan kalangan medis.
Gara-gara dipromosikan Moeldoko, Ivermectin seolah jadi solusi mengatasi pandemi. Dengan pede, kepala Staf Kepresidenan itu menyebut Ivermectin mampu menyembuhkan Covid-19.
Moeldoko juga sudah mendonasikan Ivermectin ke daerah-daerah. Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia itu pun merekomendasikan penggunaannya pada anggotanya.
Awal pekan ini, Moeldoko bahkan muncul dalam konferensi pers yang dihelat PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin. Puluhan ribu tablet telah didistribusikan ke Jawa dan Kalimantan oleh HKTI dan Harsen untuk pengobatan Covid-19. Mereka mengklaim hasilnya meyakinkan.
Selain Moeldoko, anggota Komisi VI DPR RI Mukhtarudin juga angkat bicara soal Ivermectin. Dia mengaku mengonsumsi obat tersebut selama kurang lebih lima hari ketika dirawat di RS Abdi Waluyo, Jakarta.
Mukhtarudin positif Covid-19 pada April lalu. Dia meyakini bahwa obat Ivermectin bagus untuk membantu terapi pasien agar sembuh dari Covid-19.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti termasuk tokoh publik yang menceritakan pengalamannya dalam menggunakan Ivermectin untuk Covid-19. Ia mengaku telah berkonsultasi dengan dokter ketika memadukan penggunaan Ivermectin dengan parasetamol dan beberapa multivitamin untuk karyawannya yang sedang isolasi mandiri.
Menurut Susi, dalam keputusasaan dan penuhnya rumah sakit, apa pun patut dicoba. Ia bersyukur karyawannya sembuh pada hari ketujuh.
Cerita-cerita seperti itu di satu sisi memang membangkitkan harapan penemuan obat Covid-19. Apalagi, repurposing alias penelitian terhadap obat yang sudah ada untuk keperluan pengobatan lain bukan hal yang tak lazim dalam dunia medis.
Testimoni para politikus dan tokoh publik memang bernada mendukung uji klinis Ivermectin di Indonesia. Akan tetapi, di lain sisi, itu seperti meng-endorse penggunaannya.
Tak heran jika toko obat online langsung menyambutnya sebagai peluang bisnis. Ivermectin sontak dipromosikan sebagai obat Covid-19. Mereka bahkan menjabarkan aturan pakainya.
Padahal, Ivermectin adalah obat keras. Penggunaannya harus dengan resep dokter. Itu pun untuk kasus infeksi parasit, strongyloidiasis alias pertumbuhan telur cacing di usus, infeksi cacing gelang, atau kasus kutu rambut, bukan untuk Covid-19.
Beberapa hari terakhir, saya perhatikan di toko obat daring Ivermectin "hanya" disebut untuk mengobati virus, tak lagi obat Covid-19.
Kalangan medis pun bereaksi keras terhadap promosi Ivermectin. Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, selama proses uji klinis berlangsung, Ivermectin tidak boleh diberikan sebagai obat Covid-19 sekalipun sesuai dengan anjuran dokter.
Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prof Zubairi Djoerban mengingatkan prinsip evidence-based medicine (EBM) dalam pengobatan. Itu pula yang membuat IDI saat ini tidak merekomendasikan Ivermectin untuk Covid-19.
Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) Ivermectin sebagai obat Covid-19 di delapan rumah sakit dengan Balitbangkes Kemenkes RI sebagai pelaksana. Kelak, andaikan BPOM memberikan izin pemakaiannya, IDI akan mempelajarinya dan mencermati izin di negara lain. Setelah itu baru keluar rekomendasi untuk para dokter.
Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCPEN) Erick Thohir telah memastikan PT Indofarma, perusahaan farmasi pelat merah, siap memproduksi Ivermectin dalam jumlah banyak. Harganya dijanjikan murah.
Sambil menunggu hasil uji klinis, politikus maupun tokoh di luar kalangan medis sebaiknya tak promosi obat. Jangan buat penanganan Covid-19 yang sudah ribet ini semakin menantang bagi tenaga medis karena mereka ketambahan pekerjaan untuk meluruskan pandangan yang keliru. Bekerjalah sesuai kapasitas. Ingat kan, apa jadinya jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya?