REPUBLIKA.CO.ID, Jangan mencoba menyontek Silicon Valley, kata Toronata Tambun, Director and Founder Aren Energy Investment saat menjadi pembicara di Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 2 yang digagas Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dan PT Paragon Technology and Innovation, CEO PT Paragon, Senin (27/7). Pernyataan Toronata cukup membuat Republika.co.id mengulum senyum. Bagaimana tidak, Silicon Valley yang sejatinya proyek danawa karena menghabiskan dana Rp 18 triliun dan membutuhkan 888 hektare area itu dinilai tidak akan berhasil diterapkan di Indonesia.
Namun Toronata bukan asal "ngecap", dia punya alasan kuat atas kritik terhadap proyek Bukit Algoritma tersebut. Menurut jebolan Harvard Bussines School itu ide Silicon Valley made in Sukabumi itu tidak akan berhasil karena kawasan Silicon Valley sudah memenuhi syarat yang lengkap sebagai ekosistem ekonomi sejak ratusan tahun silam, bahkan dibangun sejak tahun 1800-an.
Ia berpendapat, Indonesia harus berpikir bagaimana mengembangkan potensi daerahnya dengan tidak meniru negara lain. "Perlu trial dan error dalam membangun ide bisnis," kata Toronata yang berbicara penuh semangat itu.
Selain itu, pertimbangan wilayah juga penting yang disebut dengan topofolia. Jadi, kata dia, jangan mencoba mereplikasi Silicon Valley, topofolia atau lokasi sangat penting, ini yang mesti dicari. "Orang-orang dulu itu kalau mau bangun bisnis mesti duduk dulu berjam-jam membahasnya di warung kopi,” ujarnya.
Ekosistem yang ideal perlu dibentuk dalam mengembangkan potensi ekonomi di suatu daerah. Seperti dunia pendidikan harus disesuaikan dengan industri di daerah tersebut sehingga lahir industri khusus.
Ia berkata, pembangunan bisnis di suatu daerah harus melihat potensi yang bisa dikembangkan di daerah tersebut. Pasalnya, masing-masing daerah memiliki potensi berbeda dan tidak wajib serupa dengan daerah yang telah berhasil. Atas dasar itulah, Toronata berpendapat Indonesia harus memiliki banyak pabrik entrepreneur di setiap daerahnya untuk memajukan negara.
Memang diakui Toronata, tidak semua orang bisa dan akan menjadi pengusaha. Namun, pengusaha bisa diciptakan lewat pendidikan. Terlebih orang-orang yang lahir dari keluarga pedagang, ke depannya diharapkan menjadi seorang pebisnis komplit karena sudah terpapar dunia bisnis sejak kecil.
Guna menciptakan entrepreneur di bidang pendidikan menurut Toronata harus memiliki kurikulum yang menyesuaikan dengan potensi daerah yang ada di Indonesia. Seperti di sekitar kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT), Boston, Amerika, di mana kurikulumnya menyesuaikan dengan potensi bisnis di sana. Belajar dari sanalah, ia berkata tidak semua yang berada di luar negeri bisa diterapkan di Tanah Air. Indonesia harus berpikir bagaimana mengembangkan wilayah yang luas.
"Negara sebesar Indonesia tidak mungkin hanya satu klaster saja ekonominya,” ujarnya.
Dengan kurikulum yang disesuaikan, nantinya menurut Toronata akan menghasilkan sumber daya manusia yang mampu mengelola industri di daerah tersebut. Karena pengembangan bisnis harus memahami budaya lokal, lantaran jika dipaksakan nilai-nilai dari luar berpotensi akan mengalami kegagalan.
Pernyataan serupa disampaikan CEO PT Paragon Technology and Innovation, Salman Subakat. Ia mengakui tidak semua orang memiliki jiwa entrepreneurship, mungkin hanya 5-7 persen dari total populasi. Salman juga tidak mempermasalahkan siapa yang lebih hebat atau tidak, tapi di satu sisi bisa ditumbuhkan dan diajarkan.
“Makanya ada kuliah entrepreneurship, lalu ada inovasi yang sangat dekat dengan entrepreneurship,” kata pria berusia 41 tahun itu di kesempatan yang sama.
Melahirkan seorang pengusaha andal memang tidak hanya melalui sekolah atau seseorang yang berjiwa pedagang. Menurut Salman, seorang karyawan pun bisa memiliki jiwa pengusaha. Karyawan yang memiliki jiwa entrepreneurship sangat bermanfaat bagi kemajuan suatu perusahaan.
Ciri-ciri karyawan yang memiliki jiwa entrepreneurship bisa dipanggil karyawan intrapreneur. Di Paragon, kata Salman, ciri-ciri karyawan yang memiliki jiwa intrapreneur adalah self-motivated. Selain itu, karyawan itu fokus dan berani beda atau unik atau tidak pernah takut apa kata orang. "Kemudian senang kerja keras, kemudian dia juga senang sama orang yang kerja keras sehingga dia dekat dengan frontline,” kata Salman.
Yang menarik, Salman berbicara soal karyawan yang memiliki jiwa entrepreneurship adalah yang tidak menyukai birokrasi. Artinya, seorang yang memiliki jiwa pengusaha adalah yang anti-birokrasi dan senangnya cepat dan real berbisnis.
"Jadi gak suka bisnis yang kesannya besar atau kalau dalam penjualan itu dia senang bisnis yang langsung menyentuh konsumen," kata Salman.
Seorang Entrepreneur melakukan pekerjaannya tidak semata-mata karena mengharapkan gaji, tetapi memiliki believe. "Jadi mereka punya value based yang bekerja tidak hanya semata-mata karyawan atau pegawai,” kata jebolan Institut Teknologi Bandung ini.
Karyawan yang berjiwa intraprenuer memiliki jiwa pendobrak dan selalu ingin berinovasi menciptakan sesuatu yang baru. Jadi perusahaan dimulai oleh orang yang berjiwa entrepreneur lalu dibesarkan oleh manajer.
Jadi, menurut Salman, tidak cukup bermodal niat dan semangat kerja. Menjadi entrepreneur tidak pernah sendiri dalam membangun perusahaan. Harus ada yang profesional dan tim yang solid dalam membangun perusahaan.
“Entrepreneur itu harus disiplin, mereka memiliki belive dalam membangun perusahan, akibatnya perusahaan tumbuh lebih cepat, semangat entepreneur harus mengalir di setiap orang,” katanya.