Jumat 10 Sep 2021 09:24 WIB

Syaiful dan Zulham yang Bikin Geram

Hukuman dan sanksi tegas harus diberikan je pemain yang bersikap brutal di lapangan.

Syaiful Indra Cahya saat memperkuat timnas Indonesia (ilustrasi)
Foto: DOK REPUBLIKA
Syaiful Indra Cahya saat memperkuat timnas Indonesia (ilustrasi)

Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pekan ini, kening pecinta sepak bola lokal dibuat berkerut oleh aksi dua pemain AHHA PS Pati, yakni Syaiful Indra Cahya dan Zulham Zamrun. Keduanya menampilkan aksi tercela, mengombinasikan gerakan sepak bola dengan mixed martial arts (MMA) nyaris sempurna saat membela timnya dalam laga uji coba kontra Persiraja. 

Syaiful Indra Cahya melepaskan tendangan kungfu ke wajah pemain Persiraja Muhammad Nadhiif dalam perebutan bola. Sementara Zulham Zamrun menendang kaki pemain Persiraja, Defri Rizki, juga saat hendak merebut bola. Momen ini terjadi dalam laga uji coba di Lapangan Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (6/9).

Momen brutal itu langsung beredar di dunia maya. Sebab walau bertajuk uji coba, laga disiarkan berbayar. Sehingga, potongan kejadian ini bisa tertangkap dengan jelas dan bikin ngilu. Benar, saya tak bercanda dengan diksi ngilu. Itu yang saya rasakan ketika menyaksikan kaki Syaiful terangkat tinggi mendarat telak di kepala Nadhiif, yang langsung terkapar menahan sakit. Untungnya setelah pertandingan, Nadhiif tak mengalami cedera serius.

Sementara Defri yang ditendang Zulham membalas. Sempat terjadi kontak fisik sebelum dilerai pemain kedua tim.

Kontan saja hujatan mengalir deras ke Syaiful dan Zulham serta AHHA PS Pati, klub Liga 2 yang kini dimiliki dua influencer dunia maya, Atta Halilintar dan Putra Siregar. Publik tak bisa menerima aksi brutal seperti itu masih terlihat di sepak bola Indonesia, meski bertajuk laga uji coba. Terlebih melibatkan dua sosok yang pernah membela tim nasional sepak bola Indonesia.

Sikap kedua pemain itu semakin sulit diterima akal sehat mengingat kompetisi sepak bola di Tanah Air baru mulai bergeliat setelah dua tahun dihantam pandemi Covid-19. Pemain yang pemasukannya terdampak karena ketiadaan kompetisi, semestinya bersikap lebih hati-hati dibandingkan sebelumnya agar tak ada lagi alasan liga tak bisa digelar. Mulai dari yang utama menjaga protokol kesehatan dengan sebaik mungkin, hingga menghindari kontroversi lain, salah satunya aksi anarkis di lapangan.

Tak ada yang bisa meraba apa yang ada dalam hati dan pikiran Syaiful dan Zulham. Sebab, tak ada alasan logis yang bisa diapungkan untuk membenarkan aksi mereka. Apalagi Liga 2, kompetisi yang akan diikuti AHHA PS Pati, belum bergulir. PSSI masih menawarkan kepada para kontestan untuk menjadi tuan rumah kompetisi yang dibagi ke dalam empat grup. Saat Liga 2 masih digodok, Syaiful dan Zulham justru menghadirkan publisitas buruk untuk kompetisi kasta kedua Tanah Air tersebut.

Manajemen AHHA PS Pati memang bergerak cepat. Mereka sowan ke penginapan Persiraja untuk meminta maaf. Syaiful dan Zulham kemudian dipulangkan dari pemusatan latihan tim di Jakarta.

Namun di mata saya dan sejumlah rekan stakholder sepak bola nasional, langkah ini belum cukup. Akmal Marhali yang merupakan koordinator SaveOurSoccer meminta asosiasi pesepak bola profesional Indonesia (APPI) memberikan teguran keras kepada pemain, pemotongan gaji, dan kerja sosial. Ia juga meminta PSSI memberikan peringatan kepada seluruh pemain bahwa aksi brutal di lapangan akan diganjar sanksi berat, misalnya larangan bermain seumur hidup.

Saya setuju dengan Akmal, teman sekamar saya saat liputan Piala Dunia 2010. Namun saya lebih fokus pada aspek ekonomi. Menurut perhitungan saya, dalam kondisi pandemi seperti saat ini, aspek ekonomi bisa jadi penekan yang kuat. Para pemain yang melakukan perbuatan tak patut bisa dipotong upahnya mulai separuh hingga 3/4. Saya yakin pemain akan berpikir dua sampai tiga kali jika ingin melakukan tindakan yang mencelakai orang lain dan tidak menghormati profesi mereka sebagai atlet.

Kalau hanya berupa teguran keras dan dipulangkan, saya takut justru hukuman ini dimanfaatkan pemain. Mereka yang sedang tak ingin berlatih atau membela klubnya dengan berbagai alasan, dapat menggunakan tindak kekerasan di lapangan seperti ini agar mereka dipulangkan.

Langkah lanjutan, yakni memberlakukan denda dalam jumlah besar yang menggerus pendapatan mereka jika kembali mengulangi perbuatan serupa. Saya percaya aturan seperti ini bisa lebih efektif mencegah kejadian serupa ke depannya.

APPI sudah bergerak merespons kejadian ini. Mulai menjembatani komunikasi antara AHHA PS Pati dengan Persiraja, sampai merancang agenda besar menyatukan visi sikap sebagai pemain profesional. PSSI merespons dengan meminta setiap klub menyampaikan surat pemberitahuan ke PSSI, Asosiasi Provinsi, atau Asosiasi Kabupaten bila hendak menggelar uji coba. Ini agar ada rekomendasi dari PSSI dan ada wasit yang kredibel untuk memimpin laga tersebut. PSSI juga berjanji akan menyelidiki kasus ini untuk melihat apakah ada kemungkinan memberikan sanksi tambahan.

Langkah ini patut diapresiasi bila diambil dengan dasar ingin perbaikan ke depannya, bukan karena tekanan publik. Yang mesti jadi catatan, aturan apa pun yang dibuat PSSI haruslah ditegakkan dengan konsisten, tidak pilih-pilih. Pada masa lalu, hukuman-hukuman berbentuk sanksi dan larangan yang dijatuhkan bisa mendapatkan korting. Denda juga bisa surut.

Kita butuh kompetisi untuk menggerakkan ekonomi, hiburan masyarakat, dan tempat penggemblengan pemain yang akan membela timnas pada ajang internasional. Saya berharap ulah Syaiful dan Zulham tak akan memengaruhi kompetisi Liga 1 yang baru bergulir dan Liga 2 yang direncanakan berjalan dalam waktu dekat. 

 

 

  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement