REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu perubahan iklim saat ini kian memanas. Sampah plastik menjadi salah satu penyebab utama semakin nyatanya perubahan iklim, terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Isu ini pun telah merebut perhatian dari masyarakat dunia. Data Bank Dunia pada 2021 menunjukkan, kota-kota besar di dunia menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 miliar ton setiap tahunnya.
Diperkirakan, jumlah ini akan terus bertambah hingga 2,2 miliar ton pada 2025 mendatang. Khusus untuk masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara, warganya menggunakan sekitar 100 kilogram plastik setiap tahun dan sebagian besar merupakan kemasan plastik sekali pakai.
Sementara masyarakat Asia menggunakan hingga 20 kilogram per orang. Untuk Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun.
Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Kondisi ini mengakibatkan kantong plastik yang terbuang ke lingkungan mencapai 10 miliar lembar per tahun atau 85 ribu ton kantong plastik.
Pada 24 November 2018, Harian Republika mengangkat isu sampah plastik di halaman depan. Tak hanya menjadi perbincangan di jagat maya, halaman muka ini juga diganjar penghargaan medali perunggu oleh Asosiasi Koran dan Penerbit Berita Dunia (WAN-Ifra) dan medali emas di IPMA (Indonesia Prints Media Awards) 2019.
Wakil Redaktur Pelaksana Republika Kumara Dewatasari menjelaskan, Harian Republika sangat perhatian pada isu-isu lingkungan. Pencemaran laut oleh limbah industri dan sampah rumah tangga juga sudah sampai pada tahap memprihatinkan.
"Ikan paus dengan ukurannya yang sangat besar pantaslah disebut sebagai simbol penguasa lautan. Namun kini sang penguasa ini tampak ringkih dan mengenaskan karena memakan apa saja yang terbuang di lautan, termasuk sampah-sampah plastik," ujar Kumara.
Menurut Kumara, ada pesan besar yang ingin disampaikan Harian Republika melalui halaman muka edisi sampah plastik ini. Bukan sekadar agar menarik perhatian di media sosial, tapi kover ini juga ingin menyuarakan urgensi tentang bahaya sampah plastik terhadap kelangsungan hidup di masa yang akan datang.
Peran blockchain
Selama ini, teknologi blockchain identik dengan penggunaan bitcoin, smart contract, dan pembentukan ekosistem sistem keuangan terdesentralisasi (decentralized finance). Hadirnya konsep karya seni digital atau yang secara luas dikenal sebagai non fungible token (NFT) kini dimanfaatkan Republika untuk kembali menyuarakan pesan urgensi pengendalian sampah plastik melalui perantara teknologi blockchain.
Pada Selasa (14/9), Republika melakukan minting kover paus dan sampah plastik untuk dijadikan NFT dan ditawarkan sebagai aset koleksi digital di platform lokapasar NFT terbesar, OpenSea.
Menurut Pemimpin Redaksi Republika, Irfan Junaidi, dihadirkannya halaman muka paus dan sampah plastik dalam bentuk NFT menjadi pengingat bahwa situasi darurat yang mengancam ekosistem laut masih relevan hingga saat ini. "Teknologi blockchain dan industri NFT yang saat ini tengah booming memberi wadah baru bagi Republika untuk kembali menyampaikan pesan yang sama, meski melalui perantara teknologi yang lebih baru," ujarnya.
Halaman muka edisi yang diberi judul, 'Sampai Kapan?' ini ditawarkan dengan sistem lelang kepada penawar tertinggi dengan harga awal mulai dari 20 ethereum sejak Selasa (14/9). Proses lelang akan berlangsung hingga Selasa (28/9).
Penawaran kover paus dan sampah plastik ini meneruskan upaya eksplorasi yang dilakukan Republika dalam menjajaki ekosistem teknologi blockchain. Sejak Mei 2021, telah ada beberapa kover yang juga ditawarkan kepada para kolektor karya seni digital dalam bentuk NFT.
Beberapa di antaranya adalah kover terbitan perdana dari Harian Republika, edisi perpisahan untuk mantan Presiden kedua Indonesia, Muhammad Soeharto, dan tribute untuk mengenang petinju legendaris Muhammad Ali. Ke depan, Republika akan terus menjelajahi berbagai peluang yang ditawarkan teknologi blockchain agar tetap dapat relevan dengan kemajuan teknologi yang akan datang.