Kamis 07 Oct 2021 16:22 WIB
Lesson Learing dari Covid-19 (2)

Ketika Khalifah Overmasculine

Khalifah Overmasculine

(ilustrasi) manusia
Foto: tangkapan layar google
(ilustrasi) manusia

Oleh : Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

REPUBLIKA.CO.ID, Hampir semua agama menyatakan manusia adalah makhluk Tuhan paling istimewa. Di dalam Alquran, manusia dinyatakan sebagai ciptaan paling istimewa (ahsan taqwim/QS alTin/95: 4). Keistimewaan manusia tidak dibedakan berdasarkan etnis, agama, atau kepercayaan. Siapa pun yang merasa anak cucu Adam wajib dimuliakan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam" (QS al-Isra'/17: 70).

Manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan mengemban amanah besar dari Allah SWT: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia". (QS al-Ahdzab/33:72). Atas kelebihan yang dimiliki, manusia kemudian dilantik sebagai khalifah di bumi:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS al-Baqarah/2:30). Di samping sebagai khalifah, manusia juga sebagai hamba: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (QS alZariyat/51:56). Yang paling penting ialah satu-satunya makhluk yang diajarkan langsung keseluruhan nama-nama-Nya: "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya". (QS alBaqarah/2:31).

Manusia satu-satunya makhluk Tuhan yang teomorfis, yang di dalam dirinya tergabung dua dimensi, yaitu dimensi Lahut (QS al-Hijr/15:29) dan nasut (QS al-Naml/27:82). Di dalam dirinya juga menyatu dua kekuatan besar, yaitu kekuatan maskulin (quwwah jalaliyah) dan kekuatan feminin (quwwah jamaliyyah), sebuah kombinasi yang tidak dimiliki makhluk lain. Kombinasi inilah yang memberi kemungkinan sekaligus kemampuan manusia untuk memikul kapasitas sebagai khalifah bumi (khalaif alardh). Namun, menurut SH Nasr, kombinasi ini juga menjadikan manusia sebagai makhluk eksistensialisme, yakni makhluk yang bisa turun-naik martabatnya di sisih Allah SWT. Manusia bisa menjadi makhluk termulia (ahsan taqwim/QS al-Tin/95:4), tetapi manusia juga bisa menjadi makhluk paling hina (asfala safilin/QS al-Tin/95:5, QS alA'raf/7:179).

Makhluk lain, tidak terkecuali malaikat, tidak mungkin berdosa karena tidak memiliki quwwah jalaliyyah. Meraka hanya memiliki quwwah jamaliyyah. Malaikat dan makhluk lainnya hanya bisa merepresentasikan aspek perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih), tetapi tidak bisa merepresentasikan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih). Sebaliknya manusia, dengan kombinasi kedua kekuatan yang dimilikinya, mampu mencapai maqam "sintesis ketuhanan" (al-jam'yyat alilahiyyah). Manusia mampu menampilkan sifat-sifat jalaliyyah di samping sifat-sifat jamaliyyah Tuhan.

Komposisi masculine-feminine harus selalu terukur agar tidak berat sebelah. Manusia mampu mencapai ma'rifah tingkat lebih tinggi, yang dalam ilmu tasawuf sering disebut "Maqam Adna" (QS al-Najm/53:9).

Selain berbagai keistimewaan yang disebutkan di atas, manusia juga diberikan keistimewaan khusus, di mana alam semesta ditundukkan kepada nya, yang lebih dikenal dengan konsep taskhir dalam teologi Islam. Segenap alam semesta ditundukkan kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah (khalaif al-ardh), sebagaima na disebutkan dalam ayat: "Apakah kamu tiada melihat bahwa sanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan de ngan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia." (QS al-Hajj [22]: 65).

Ketundukan (taskhir) alam semesta kepada manusia bukan tanpa reserve. Alam semesta akan tunduk sepanjang manusia menjalankan kapasitas kekhalifahannya dengan benar. Manusia tetap memimpin jagat raya sesuai dengan tuntunan Sang Khaliq sebagaimana dituntunkan dalam Kitab Suci. Misalnya di dalam menjalankan kapasitas kekhalifahan nya selalu mencontoh Allah SWT sebagai "Pemelihara alam-alam semesta" (Rabb al-'alamin/QS alFatihah [1]: 2), manusia juga harus sadar bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai the Mother of God daripada the Father of God di dalam mengelola alam semesta ini. Sebagai khalifah, manusia juga tidak boleh melampau batas: "Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS al-An'am [6]: 141).

Manusia tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang digariskan Allah SWT kepadanya, yang pada akhirnya akan merugikan sendiri kehidupan umat manusia, sebagaimana diisyarat kan dalam ayat: "Telah tampak keru sak an di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada me re ka sebahagian dari (akibat) perbuat an mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS al-Rum [30]: 41).

Konsep taskhir dalam Islam mempunyai prasyarat. Ketika manusia melupakan dirinya sebagai hamba dan khalifah yang harus memakmurkan bumi, lalu mereka melakukan eksplo rasi alam yang melampaui ambang daya dukungnya, dan sesama mereka saling menghujat dan menyebabkan pertumpahan darah, sebagaimana dikhawatirkan malaikat (QS alBaqarah [2]: 30).

Ketika manusia tidak lagi mengin dahkan ketentuan Allah SWT, misal nya, para penguasa tidak lagi memihak kepada keadilan dan ke masla hat an umat, mengabaikan akal sehat dan hati nurani, para pebisnis tidak lagi mengindahkan etika bisnis, para ulama dan ilmuwan sudah kehi langan pertimbangan objektivitasnya, para buruh dan karyawan sudah kehilangan rasa ketulusannya, maka ketika itu bencana demi bencana se nantiasa mengintai dalam masyarakat. Tegasnya, ketika manusia sebagai khalifah terjebak di dalam kualitas over-masculine, ketika itu akan mun cul musibah sebagai peringatan dan lesson learning bagi manusia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement