Rabu 08 Dec 2021 13:49 WIB

Aroma Pelecehan Seksual di Kampus Depok

Pelecehan seksual di kampus banyak tidak terungkap karena tidak ada yang melapor.

Pelecehan seksual juga terjadi di dunia kampus, namun banyak yang tidak terungkap. -ilustrasi-
Foto: republika
Pelecehan seksual juga terjadi di dunia kampus, namun banyak yang tidak terungkap. -ilustrasi-

Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pelecehan seksual di salah satu universitas di Depok, Jawa Barat tampaknya sudah menjadi rahasia umum. Ketika saya berkesempatan untuk melanjutkan studi, saya ingat betul beberapa dosen memberikan kode-kode tipis tentang tabiat dosen yang dimaksud. Ada yang samar-samar bilang bahwa salah satu dosen tidak mementingkan kepintaran otak atau tugas yang selesai tepat waktu, asal mahasiswa itu cantik dan duduk di baris depan, maka nilainya akan terjamin.

Saya pikir waktu itu, mungkin bukan dosen di program studi yang saya ambil sehingga saya tidak terlalu menanggapi secara serius. Tetapi lama kelamaan saya menyadari bahwa ada yang janggal dari perkuliahan yang diampu dosen yang bersangkutan. Sayangnya, kesadaran itu muncul di akhir studi dan ketika ada beberapa teman yang mengaku ‘dipepet’ dosen tersebut.

Setelah itu saya mulai mengingat beberapa peristiwa yang mungkin sebenarnya menjadi petanda bahwa awal dan bibit-bibit pelecehan sedang berlangsung di depan mata. Petanda-petanda kecil yang seringkali dianggap lumrah sampai luput dan membuat para mahasiswa tidak waspada.

Yang saya ingat, dosen itu rajin meminta nomer telpon mahasiswa. Awalnya, saya merasa bahwa hal tersebut sesuatu yang menyenangkan karena dosen dengan rendah hati mau meminta nomer telpon mahasiswa untuk keperluan studi atau mengenal mahasiswa lebih dekat. Tetapi ternyata itu adalah modus untuk menyaring mahasiswa yang diincarnya karena hanya mahasiswa cantik yang dihubungi.

Di dalam kelas, ya dosen itu juga hanya menghafal dan memanggil nama mahasiswa yang cantik-cantik saja. Dia menyuruh mereka duduk di barisan depan. Sesekali menggoda dan pamer pencapaiannya sebagai seorang dosen. Sedangkan mahasiswa yang lain kadang ikut tertawa bahkan sesekali menimpali. Di kepala saya waktu itu, dosen itu sudah dianggap seperti kakek yang sedang bersenda gurau dengan cucu-cucunya. Jadi ya tidak ada pikiran jauh apalagi sampai memikirkan dosen tersebut melakukan pelecehan seksual.

Hingga suatu hari, kisaran pertengahan 2019, ada desas-desus mahasiswa S1 melaporkan dosen tersebut ke jurusan. Katanya, mahasiswa tersebut mengaku telah dilecehkan. Rumor itu pun berkembang dan tebak-tebakan nama dosen pun berlangsung hampir di setiap kelas.

Beberapa orang sudah bisa menebak nama dosen yang bersangkutan. Tetapi kebanyakan menyangkal dan masih merasa bahwa dosen tersebut tidak melakukan pelecehan karena yang dilakukannya adalah hal yang biasa bahkan layaknya seorang kakek yang mengayomi cucunya. Tapi kemudian, ketika dia mengajar di kelas, ekspresi dan emosinya berbeda dari biasanya. Tanpa diminta, dia memberikan klarifikasi dan menantang siapapun untuk memberikan bukti soal kasus-kasus pelecehan yang dituduhkan kepadanya.

Setelah itu, saya menjadi lebih memperhatikan dan berusaha untuk peka dengan kejadian-kejadian di sekitar kampus, terutama teman-teman saya sendiri. Beberapa bulan kemudian, seorang teman menelpon dan memohon kepada saya untuk menemaninya bertemu dosen tersebut. Dia bilang, dosen mau bertemu di ruangannya sendiri –ruangan yang terpisah dengan ruang dosen-dosen lain—

Tanpa pikir panjang, saya langsung menyanggupi dan meluncur dari kantor ke kampus demi teman saya itu. Ketika tiba di kampus, dia bercerita dosen itu menawarkan bantuan kepadanya terkait pengurusan visa. Dosen itu mengaku mengenal sejumlah pejabat sehingga mudah untuk meminta tolong.

Saya ingat, teman saya itu ketakutan kalau harus bertemu sendirian atau hanya berdua dengan dosen tersebut di ruangan kecil tertutup. Di saat yang sama, dia mengaku tak enak jika menolak pertemuan itu bahkan sebenarnya dia sudah menolak berkali-kali, tapi dosen itu tetap memaksa. Saya pun meminta dia untuk mengulur waktu agar tidak buru-buru bertemu dosen dan merencanakan agar pertemuan dilakukan dengan sangat singkat. Saya juga menegaskan agar saya ikut masuk ruangan dan pintu tidak ditutup.

Ketika saya dan teman saya itu ke ruangannya, saya masih ingat raut mukanya yang berubah. Tidak ada obrolan yang penting atau bantuan yang berhasil diberikan. Tak sampai setengah jam, pertemuan pun selesai. Tapi, tak sampai setengah jam pula dia mengirim pesan Whatsapp untuk menjadwalkan ulang pertemuan. Saya dengan tegas bilang untuk tidak membaca pesan tersebut apalagi buru-buru membalasnya. Saya juga meminta dia untuk tidak lagi bertemu dengan dosen itu.

Beberapa pekan kemudian, giliran teman yang lain yang bercerita mengalami hal yang hampir serupa. Sayangnya, kali ini dia harus mengalaminya sendirian dan tidak ada bantuan dari orang lain. Ceritanya, dia ada keperluan dengan dosen tersebut. Dia pun diminta untuk datang ke daerah Matraman. Dari situ, muncul beberapa peristiwa yang membuat trauma. Bahkan ketika pamit pulang pun, dosen itu memaksa untuk berada satu mobil taksi dan duduk sangat rapat hingga membuat teman saya tidak nyaman.

Sejak saat itu, teman saya kehilangan rasa hormat pada dosen itu dan selalu duduk di belakang. Dia baru cerita setelah masa studi hampir selesai. Saya pun menawarkan untuk menemaninya lapor ke jurusan agar ada tindak lanjut. Tapi kedua teman saya itu menolak. Alasannya macam-macam, takut berpengaruh ke nilai, takut tidak dianggap serius, sampai kasihan kepada dosen yang bersangkutan karena sudah uzur.

Mereka juga merasa bahwa laporan itu pasti akan sia-sia mengingat pertarungan di ranah ini melibatkan mahasiswa dan dosen yang statusnya seorang guru besar. Jadi ya, mereka membiarkan itu menguap tapi di saat yang sama juga yakin bahwa hal tersebut sudah diketahui banyak orang.

Beberapa pekan lalu, rahasia umum itu kembali mencuat. Saya pun iseng menghubungi orang di jurusan. Dia memberitahukan bahwa dosen itu sekarang sudah sangat dibatasi ruang geraknya. Dikatakan, sejak kasus 2019 mencuat, aturan diperketat seperti tidak boleh bertemu dosen di luar kampus. Dosen itu juga dilarang untuk mengajar di S1 sejak semester lalu dan dilarang mengajar di S2 sejak semester ini. Mahasiswa bimbingannya pun hanya sisa dua orang. Itu pun mahasiswa S3.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement