Oleh : Dwi Murdaningsih, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Teknologi semakin maju. Berkembang sangat cepat. Salah satu teknologi yang berkembang pesat belakangan ini adakah teknologi kecerdasan buatan atau artificial intellegence (AI).
AI telah digunakan di berbagai bidang. Di darat, laut, udara. Mulai dari objek mikroskopis hingga objek kosmik, AI sudah mengambil peran di sana. Tugas yang membutuhkan waktu lama sekali dikerjakan oleh manusia, bisa dilakukan dengan cepat menggunakan teknologi AI.
Keberadaan AI bisa digunakan untuk membantu mencari data, analisis, prediksi, pemodelan untuk berbagai kepentingan. AI bisa membantu membuat obat hingga mencari kawah di Mars, tempat yang jauh sekali dari jangkauan manusia di Bumi.
Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan: bisakan AI menggantikan manusia? Apakah mungkin pekerjaan manusia terancam dengan keberadaan kecerdasan buatan. Haruskah manusia merasa terganggu dengan AI?
Stuart Russell, pendiri Center for Human-Compatible Artificial Intelligence, di University of California, Berkeley, Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa algoritme yang dimiliki robot dan teknologi ini belum mendekati kemampuan manusia secara umum. Artinya, AI ini harus terus dilatih agar bisa melakukan tugas untuk membantu manusia.
Russell mengatakan bahwa reaksi khawatir dari masyarakat dunia atas kemajuan AI bukanlah hal yang tepat. Namun, tidak ada salahnya ada sedikit rasa takut, sama seperti manusia mengkhawatirkan tentang perubahan iklim di dunia.
“Saya pikir sedikit rasa takut diperlukan, karena itulah yang membuat Anda bertindak sekarang daripada bertindak ketika sudah terlambat, yang sebenarnya adalah apa yang telah kita lakukan dengan perubahan iklim.
Apa yang harus dilakukan? Tentu harus meng-upgrade diri agar manusia bisa melakukan sesuatu yang lebih strategis sehingga pekerjaan-pekerjaan rutin bisa dilakukan oleh robot atau AI.
Di sisi lain, CEO perusahaan robotika Ametek Inc, David Zapico mengatakan bahwa tujuan dari maraknya teknologi robot dan AI memang ujung-ujungnya untuk mengganti tenaga manusia.
Perusahaan akhirnya ingin mengganti pekerja mereka dengan mesin. Sebenarnya ini perlahan sudah banyak terjadi di sekeliling kita.
Di Indonesia misalnya, meskipun tidak selalu tenaga manusia digantikan oleh robot, sekarang sudah banyak sistem yang menggunakan teknologi otomasi dan mesin. Contohnya, ketika kita masuk ke jalan tol menggunakan pintu otomatis, pengguna cukup melakukan ''tap' . Pembayaran dilakukan dengan non-tunai, uang tercatat dan petugas tol tidak lagi diperlukan. Ini memudahkan kan?
Namun, perlu diingat bahwa teknologi selalu hadir lebih dulu dibandingan dengan regulasi. Di sisi lain, teknologi juga akan selalu menghasilkan dampak-dampak sosial.
Teknologi adalah sebuah alat yang perlu diatur penggunaannya. Segala sesuatu harus ada kode etiknya, begitu pun AI. Ingat, dari 7 miliar penduduk di Bumi, tidak semuanya adalah orang baik. Pasti akan ada orang yang berniat memanfaatkan teknologi ini untuk kejahatan.
*Etika*
Belum lama ini, negara-negara aggota UNESCO mengadopsi perjanjian global pertama tentang etika AI. Rekomendasi UNESCO menetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum, yang membantu menciptakan infrastruktur hukum yang diperlukan guna memastikan perkembangan teknologi tersebut secara sehat.
“Dunia membutuhkan aturan untuk kecerdasan buatan yang memberi manfaat bagi umat manusia. Rekomendasi tentang etika AI adalah jawaban utama,” ujar UNESCO, Jumat (26/11).
Rekomendasi memiliki tiga bagian utama, yaitu nilai, prinsip, dan area strategis. Isu utama rekomedasi tersebut antara lain adalah melindungi data, melarang penilaian sosial dan pengawasan massal, hingga membantu memantau dan mengevaluasi, serta melindungi lingkungan.
Pada 7 dan 8 Desember akan digelar Forum Internasional tentang AI dan Pendidikan 2021 di Qingdao, China. Pada forum ini, peserta akan mempertimbangkan bagaimana tata kelola AI dan jaringan inovasi dapat ditingkatkan untuk mengarahkan kecerdasaan buatan menuju kebaikan bersama dalam pendidikan dan untuk kemanusiaan.