REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis riset mengenai perbandingan anak yang tinggal dengan orang tua (ortu) perokok versus ortu bukan pengisap tembakau. Hasilnya, anak yang tinggal di keluarga yang perokok cenderung mengalami kekerdilan (stunting).
"Beberapa riset termasuk yang diadakan PKJS-UI menemukan bahwa anak yang tinggal di rumah tangga dengan orang tua perokok cenderung pertumbuhannya mengalami gangguan atau stunting dibandingkan mereka yang tinggal di rumah tangga tanpa orang tua perokok," ujar Ketua PKJS-UI Aryana Satrya saat berbicara di konferensi virtual Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bertema Sosialisasi Pemahaman Hubungan Perilaku Merokok dan Stunting, Kamis (20/1).
Aryana menambahkan, itu juga merupakan data Indonesia Family Life Survey. Ia menjelaskan, dampak konsumsi rokok bersifat multidimensi, selain kesehatan perokok dan keluarganya seperti stunting.
Rokok juga berdampak buruk pada ekonomi keluarga hingga kemiskinan. Ia menambahkan, perilaku merokok orang tua berpengaruh terhadap intelejensi anak secara tidak langsung, termasuk stunting.
Stunting berdampak pada kemampuan kognitif yang buruk, performa pendidikam yang tidak optimal, hingga peningkatan risiko penyakit kronis.
"Padahal, Indonesia akan menghadapi bonus demografi mulai dari sekarang hingga 10 sampai 15 tahun mendatang. Maka dari itu penting sekali mempersiapkan sumber daya unggul dan berkualitas," katanya.
Namun, dia menambahkan, bonus demografi tersebut tidak dapat optimal dimanfaatkan jika kesehatan anak buruk terutama akibat konsumsi rokok.
Oleh karena itu, pihaknya merekomendasikan upaya pengendalian merokok dan percepatan penurunan stunting dilakukan beriringan karena saling terkait dan mendukung target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 yaitu menurunkan prevalensi stunting mencapai 19 persen.