REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eko Sasongko Priyadi, Dosen FE Universitas Pamulang
Novel Sabai 선우 (baca: Sabai Sunwoo) merupakan kelanjutan dwilogi Dayon yang terbit pada pertengahan 2021. Jika Dayon bercerita tentang kisah hidup seorang anak Kapau, Sumatra Barat, bernama Jems Boyon yang mengejar mimpi sebagai seorang sutradara maka Sabai berkisah tentang istrinya, Sabai Rangkayo Sunwoo, seorang mantan model berdarah campuran Minang-Korea Selatan.
Kisah dimulai dengan lawatan budaya Dayangku Bestari, mahasiswi FE Universitas Andalas, Padang, berusia 18 tahun yang bersama kawan-kawannya ke Korea Selatan di tahun 1983. Mereka menampilkan tarian tradisional Minangkabau di Universitas Nasional Seoul. Di antara salah seorang hadirin terdapat Profesor Han Sunwoo, Guru Besar Ilmu Ekonomi, yang masih lajang.
Saat pementasan berakhir, panitia memintanya memberikan buket bunga kepada para penari yang diwakili Dayang sebagai penari termuda dalam rombongan. Pertemuan singkat berdampak hebat bagi sang guru besar.
Dua bulan kemudian dia terbang ke Padang. Perlu beberapa waktu bagi Sunwoo untuk menaklukkan hati Dayang sampai gadis Minang itu menerima cintanya dan mereka menikah dua tahun kemudian. Sunwoo memboyongnya ke Seoul. Setahun kemudian (1986) Sabai lahir.
Sayang, pernikahan itu tidak disetujui mertua Dayang. Hingga kelahiran Sabai, tidak pernah sekalipun sang mertua berkunjung ke apartemen anak-menantunya atau bersedia dikunjungi. Mereka menutup diri.
Melalui informasi Sunhwa, kakak perempuan Sunwoo, terungkap bahwa sang mertua kecewa karena anaknya berpindah agama Islam tanpa memberitahu mereka. Padahal ayah Sunwoo adalah seorang ketua organisasi perkumpulan Buddhis yang terpandang.
Saat akhirnya mereka berkunjung untuk melihat sang cucu, ibu Sunwoo terus menerus mengkritik Dayang bahkan memanggil bayi itu sebagai Sunhee, bukan Sabai, karena “Bapak bayi itu orang Korea. Kakek neneknya juga Korea. Maka namanya juga harus nama Korea. Sunhee itu artinya kenikmatan, kebahagiaan.” (hal. 73).
Bukan itu saja, mereka pun memaksa Sunwoo untuk menikah dengan perempuan Korea meski pernikahan mereka sudah berjalan 10 tahun. Dayang tak bisa menerima itu dan memilih berpisah. Dia memutuskan kembali ke Indonesia dengan membawa Sabai. Dana terbatas dari perceraiannya digunakan untuk membeli sebuah rumah kecil di dalam gang di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Berbeda jauh dengan kehidupan Seoul yang serba bersih, rapih, tenang dan teratur, membuat Sabai mesti beradaptasi keras dengan berbagai “gangguan” seperti suara shalawatan menjelang subuh, suara azan, bunyi tokek, motor lalu-lalang depan rumah, para penjual makanan, dan lainnya. Karakter Dayang yang tegas membuat Sabai kecil yang manja harus memahami kondisi yang harus dihadapi dan melakukan adaptasi.
Sabai pun harus menghadapi gangguan berupa perundungan (bully) dari teman laki-laki di SD Negeri berupa cap ‘anak pungut’ hingga pelecehan fisik. Hingga satu kali, Sabai memberi pelajaran dengan pukulan dan tendangan tae kwon do yang membuat Obet, teman sekolahnya yang usil, tak berani menganggunya lagi.