REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pabrikan mobil mewah BMW akan memprioritaskan produksi kendaraan listrik (EV) di tengah krisis chip dan konflik Ukraina-Rusia. Dikutip dari Reuters, Kamis (17/3/2022), BMW memangkas perkiraan margin keuntungan 2022 divisi mobilnya.
BMW memperkirakan krisis chip akan berlanjut sepanjang tahun. Pembuat mobil asal Jerman tersebut memperingatkan gangguan rantai pasokan yang diperburuk oleh invasi Rusia ke Ukraina.
BMW, yang menjual rekor 2,52 juta kendaraan tahun lalu meskipun kekurangan chip semikonduktor, berharap untuk menjual lebih banyak mobil pada tahun ini. Namun, karena berbagai kendala yang dihadapi industri otomotif, BMW kini mengharapkan output setara dengan 2021.
"Namun, tujuannya untuk produksi kendaraan listrik yang lebih tinggi tetap tidak berubah," kata Chief Technical Officer Frank Weber.
Perusahaan bermaksud untuk meningkatkan lebih dari dua kali lipat penjualan EV menjadi lebih dari 200 ribu tahun ini. BMW menargetkan 2 juta penjualan listrik penuh pada tahun 2025.
Strateginya, BMW akan membentuk lima kemitraan baru untuk pabrik baterai di lokasi yang dekat dengan tempat EV diproduksi di Eropa, China, dan wilayah NAFTA, kata Kepala Pembelian Joachim Post.
BMW menangguhkan produksi di beberapa pabrik Jerman setelah invasi Rusia ke Ukraina, tetapi akan kembali berproduksi penuh minggu depan. Produksi Mini di Oxford tetap ditangguhkan.
Krisis Ukraina dan gangguan terkait COVID-19 di China telah memaksa produsen mobil dari Toyota hingga Tesla menutup pabrik dan menaikkan harga. Banyak yang memperingatkan perubahan lebih lanjut jika keadaan tidak stabil.
BMW mengatakan bahwa sementara itu pihaknya masih dapat memperoleh beberapa suku cadang dari Ukraina Barat dan melibatkan pemasok di lokasi lain di seluruh dunia untuk menjaga produksi. Kenaikan harga bahan baku kemungkinan akan merugikan perusahaan dalam jumlah ratusan juta euro tahun ini. Namun, pihaknya memperkirakan akan mempertahankan pemasok Ukraina dalam jangka menengah hingga panjang.