Oleh : Hasan Sadeli, Aktivis NU, Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 (SU 1 Maret 1949) adalah penggalan peristiwa yang amat penting dalam sejarah Indonesia. Melalui peristiwa itu, Indonesia berhasil membuktikan eksistensinya kepada dunia internasional di tengah upaya intimidasi dan upaya kolonialisasi Belanda.
Belanda yang tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia, melakukan berbagai aksi dengan terus menerus melancarkan serangan militer.
Belanda mencaplok satu demi satu wilayah Indonesia, mempersempit ruang gerak tentaranya, dan memaksa para pemimpin repubik untuk hijrah ke Yogjakarta.
Puncak upaya Belanda ialah tatkala mereka berhasil menahan para pemimpin republik termasuk Soekarno dan Mohammad Hatta dalam agresi militer II (Operatie Kraai) pada Desember 1948 di Yogjakarta-Ibu Kota Indonesia.
Sebelum Soekarno dan Hatta ditangkap, pemerintahan (darurat) telah dimandatkan kepada Sjafrudin Prawiranegara di Sumatera yang kemudian membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dalam keadaan para pemimpin republik yang ditahan Belanda, PDRI di bawah Sjafrudin kemudian memegang pusat koordinasi untuk melakukan strategi perlawanan terhadap Belanda.
Sementara para petinggi militer seperti Jendral Soedirman dan AH Nasution memilih untuk bergerilya melawan Belanda yang terpusat di pulau Jawa.
Salah satu upaya terbesar militer Indonesia dalam melawan Belanda ialah apa yang kini dikenal dengan serangan umum 1 Maret tahun 1949.
Operasi ini sendiri dirancang atas inisiatif Sri Sultan Hamengku Buwono IX beberapa bulan sebelumnya. Peristiwa ini sangat penting untuk menunjukan eksistensi Indonesia kepada dunia internasional sekaligus efektif membungkam mulut Belanda yang mengumumkan bahwa pemerintahan dan tentara Indonesia sudah tiada.
Gaduh Keppres
Bertolak dari peristiwa besar itulah kemudian pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Tetapi kemudian terbitnya Keppres tersebut justru menuai polemik di tengah masyarakat.
Polemik itu berakar dari konsideran huruf C Keppres 2/2022 yang di dalamnya tidak menyertakan nama Soeharto yang selama ini dikenal berperan besar dalam peristiwa SU 1 Maret 1949.
Selain ketiadaan nama Seharto, peran PDRI juga tidak dituliskan di dalam Keppres 2/2022. Adapun nama-nama tokoh yang dituliskan didalam Keppres 2/2022 yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX (penggagas serangan), Panglima Besar Jendral Soedriman (yang memberi perintah serangan) serta presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta (pemberi restu/menyetujui dan penggerak serangan).
Baca juga: Tentara Israel Paksa Diplomat Muslim Taiwan Baca Alquran
Konsideran huruf C Keppres 2/2022 menjadi sasaran kritik sejumlah sejarawan. Bukan saja karena tidak disertakannya nama-nama yang dianggap berperan besar dalam SU 1 Maret 1949, tetapi juga mempertanyakan penulisan nama Soekarno-Hatta dalam Keppres mengingat saat serangan terjadi keduanya sedang dalam tahanan Belanda. Sebenarnya hanya itu persoalan pokok yang membuat Keppres kemudian menjadi polemik.
Hanya saja publik menjadi semakin gaduh tatkala berbagai media ramai menuliskan judul berita “nama Soeharto dihilangkan dalam sejarah”.
Dalam keadaan demikian, publik yang terpancing kemudian menyimpulkan bahwa pemerintah saat ini hendak membelokkan sejarah.