Senin 20 Jun 2022 02:44 WIB

Krisis Pangan Mengancam!

Targer swasembada pangan pemerintah jauh panggang dari api.

Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kedua kiri) Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (tengah), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua kanan) meninjau kesiapan lahan pertanian yang akan dijadikan pengembangan 'food estate'  di Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020)
Foto: Antara/Makna Zaezar
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kedua kiri) Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (tengah), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua kanan) meninjau kesiapan lahan pertanian yang akan dijadikan pengembangan 'food estate' di Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020)

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mengeluarkan peringatan keras tentang ancaman berbagai krisis pangan. Ancaman krisis pangan global itu kini tengah mengancam dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Kondisi ini tidak hanya disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk dunia tak sebanding dengan produksi pangan dunia, tapi juga faktor pasokan pangan terganggu. Pemicu produksi pangan dunia terganggu ini karena adanya perubahan iklim, yang membuat semakin banyak siklon dan hujan di atas normal, sehingga banyak area pertanian tergenang banjir dan menurunkan produksi pangan dunia.

Selain itu, banyak negara yang bergantung dengan negara lain dalam memasok kebutuhan pangan pokok, mulai dari gandum, sorgun, beras dan jagung. Tak hanya imbas krisis iklim, tapi peperangan Rusia-Ukraina yang juga berujung pada kenaikan harga bahan bakar dan pangan.

Dampaknya, sejumlah negara pun kini bahkan tengah dilanda krisis pangan. Brazil misalnya. Akhir-akhir ini, negara tersebut sungguh dalam kondisi ironi. Betapa tidak, sebagai produsen pangan terbesar di Amerika Latin, Brazil kini mengalami rawan pangan.

Menurut hasil riset yang dirilis Getulio Vargas Foundation (FGV) pada Rabu (25/5/2022), Brazil sedang ditempa krisis pangan. Riset yang menganalisis data dari Gallup World Poll itu menemukan bahwa 36 persen penduduk Brazil tak mampu membeli makanan buat keluarganya pada 2021, naik dari 30 persen pada 2019.

Krisis pangan juga mengancam kesengsaran warga Sri Lanka. Saat ini, negara tersebut sedang berjuang mengatasi krisis ekonomi yang kian mengkhawatirkan dan terancam bangkrut. Kondisi yang mengkhawatirkan.

Lantas bagaimana dengan Indonesia?. Dalam masalah pangan, Indonesia harus membuat reorientasi atau kebijakan komoditas pangan dengan menggencarkan kemandirian pangan dan pemberdayaan petani kecil.

Di awal pemerintahannya, pada 2014, Jokowi telah membuat program swasembada dan yang mendapat prioritas utama, yaitu swasembada padi, kedele dan jagung. Bahkan terlalu fantastis menargetkan swasembada ketiga dicapai dalam tiga tahun.

Kebijakan pangan di era Jokowi-Jusuf Kalla sudah tertuang dalam Nawacita menjadi landasan program kerja pemerintah, yaitu mencapai swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional.

Pemerintah saat itu bahkan mentargetkan, Tahun 2016 swasembada padi, tahun 2017 swasembada jagung, tahun 2019 swasembada gula konsumsi, tahun 2020 swasembada kedelai. Namun harapan Presiden itu jauh panggang dari api, karena banyak kendala yang membuat upaya itu tak membuahkan hasil.

Padi merupakan makanan pokok penduduk Indonesia yang pernah swasembada di era Soeharto Tahun 1984, dengan memproduksi beras sebanyak 25,8 juta ton. Hasilnya Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.

Namun, pertumbuhan penduduk yang meningkat tidak sebanding dengan pencetakan sawah dan irigasi baru, akhirnya swasembada makin sulit tercapai. Rata-rata penguasaan lahan petani padi yang kecil atau di bawah setengah hektare membuat usaha padi kurang efisien dan hanya sebagian kecil yang benar-benar digarap dengan serius.

Pencetakan sawah baru juga tidak diiringi dengan irigasi yang memadai dengan produktivitas lahan rendah atau hanya bisa satu kali tanam dalam setahun. Akibat itu semua, produksi beras secara nasional walaupun ada kenaikan, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia masih terus mengimpor beras sebagai stok nasional.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras masih terjadi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2018 Indonesia mengimpor beras 2.253.824,5 ton, Tahun 2019 impor menurun hanya 444.508,8 ton dan Tahun 2020 impor turun lagi 356.286 ton beras.

Tahun 2021 volume impor beras naik lagi 14 persen lebih mencapai 407,74 ribu ton.

Ke depan perlu terus dikembangkan budi daya padi skala luas dengan melibatkan swasta melalui rice estate sebagai lumbung pangan nasional di luar Pulau Jawa.

Sejumlah daerah juga berlomba untuk mampu berswasembada padi dengan terus mencetak sawah baru. Keberadaan bendungan baru harus dimanfaatkan daerah dengan pembangunan irigasi sampai tersier dan mengawal produktivitas sawah melalui penyuluh yang tangguh.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka rapat koordinasi nasional pengawasan intern pemerintah tahun 2022 di Istana Negar bahkan menyebut, masalah pangan ini harus menjadi perhatian pemerintah dan benar-benar disiapkan. Wajar, sebagai negara dengan penduduk yang sangat besar, maka kebutuhan pangannya pun juga besar.

Ya, kondisi ini, jika pemerintah abai terhadap program ketahanan pangannya, maka bisa dipastikan krisis pangan akan melanda ratusan juta warga Tanah Air. "Pangan, harus betul-betul disiapkan betul,” tegas Jokowi.

Mengutip data Bank Dunia dan IMF, akan ada sekitar 60 negara yang nantinya akan mengalami krisis ekonomi. Perekonomian di 40 negara di antaranya pun dipastikan akan ambruk. Hal ini disebabkan ketidakpastian yang terjadi saat ini, termasuk krisis pangan dan juga energi, hingga ancaman kenaikan inflasi.

Diperkirakan, ada kira-kira 13 juta orang yang sudah mulai kelaparan di beberapa negara, karena urusan pangan dalam beberapa pekan trakhir. Bahkan, saat ini, 22 negara pengekspor pangan sudah mulai menyetop ekspornya untuk cadangan pangan mereka.

Dengan adanya sejumlah negara yang sudah mulai membatasi ekspor pangan ini, maka kemandirian pangan menjadi hal yang sangat penting bagi Indonesia. 

Namun demikian, ancaman krisis pangan ini juga bisa menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan. Sebab, Indonesia masih memiliki lahan yang besar yang dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian sehingga lebih produktif. 

Untuk itu Presiden meminta jajarannya agar memiliki kepekaan atau sense of crisis. Dia ingin seluruh jajarannya bekerja secara mendetil sehingga kebijakan-kebijakan yang diputuskan tidak salah.

Ya, swasembada bukan hanya tugas Pemerintah pusat, tapi juga tugas pemerintah daerah untuk berinovasi meningkatkan produksi padi, jagung dan kedelai. Kenaikan harga komoditi pangan dunia, harusnya terus memacu daerah untuk meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjadi prestise daerah. Semoga...

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement