REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR. Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan.
Harga BBM dinaikkan pemerintah. Alasannya karena subsidi BBM dinikmati si kaya atau salah sasaran. Nah, dari dulu masa salah sasaran melulu, padahal sudah 8 tahun berkuasa. Masa delapan tahun tidak mampu memperbaiki bila subsidinya masih dinikmati oleh pihak yang seharusnya tidak menikmati subsidi? Nah, bagaimana politik subsidinya selama itu?
Kenaikan harga BBM akan menimbulkan inflasi berantai. Untuk itu, pemerintah memberikan Bansos sampai akhir tahun, setiap bulan Rp150.000,- atau Rp 600.000,- kepada kaum yang membutuhkan, dikelola Kementerian Sosial. Solusi ini, seakan akan inflasinya akan berakhir akhir tahun. Padahal, kita tahu setelah tidak ada Bansos, inflasi tetap berlanjut. Karena itu, tidak heran bila kita sering dengar statement lebih baik tidak ada tambahan Bansos asalkan harga BBM tidak naik. Resep ini juga sama dengan yang dulu dulu ketika menaikkan harga BBM, yaitu mau mengalihkan subsidi kepada yang berhak. Rupanya tidak berhasil atau cuma lips service?
Kini Pemda juga diimbau untuk mencegah dampak inflasi dari kenaikan harga BBM ini dengan menggunakan anggaran darurat yang dipunyainya. Masih belum jelas berapa dananya dan mekanismenya sementara inflasi tidak bisa menunggu.
Bank Indonesia (BI) yang sebenarnya relatif berhasil mengendalikan inflasi, kali ini sekurang-kurang harus merevisi forecast angka inflasi sampai akhir tahun di samping meninjau kembali suku bunga.
Baca juga : Kenaikan BBM Dikhawatirkan Picu PHK Massal
Pemerintah harusnya konsekuen bahwa yang diatur harganya hanya yang disubsidi saja di APBN, yaitu Pertalite dan Bio Solar sebab dua item ini yang ada di APBN. Namun, kenapa ada Pertamax yang ikut diatur harganya dari Rp 12.500,- dinaikkan menjadi Rp14.500,-? Dan Vivo yang malah di minta menaikkan harga? Pemerintah harus konsekuen bahwa tidak mengatur yang tidak disubsidi sebab katanya sudah bebas menggunakan harga pasar. Apalagi, intervensinya malah menaikkan harga.
Jakarta, 4 September 2022