Ahad 04 Sep 2022 16:12 WIB

Legislator Minta Kemendikbudristek Tinjau Kembali Aturan PPDB

Banyak siswa yang cuti sekolah karena tidak lolos dalam pendaftaran.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ilham Tirta
Sekolah/ilustrasi.
Foto: Antara
Sekolah/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (KemendikbudRistek) diminta meninjau kembali aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dalam Permendikbud Nomor 4 Tahun 2019. Di mana di dalamnya pemerintah memberikan fleksibilitas kepada daerah dalam menentukan alokasi untuk siswa masuk ke sekolah melalui jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan orang tua, dan jalur lainnya berupa jalur prestasi.

"Kami menemui banyak masyarakat yang meminta agar sistem zonasi ini ditinjau ulang, karena menghambat siswa yang berprestasi masuk sekolah yang diinginkan dan juga banyak siswa yang tidak berhasil lolos ke sekolah dikarenakan hanya kurang satu hari umurnya dan banyak juga yang akhirnya cuti sekolah,” ujar Anggota Komisi X DPR, Himmatul Aliyah, dikutip dari laman resmi Komisi X DPR, Ahad (4/9/2022).

Baca Juga

Himma menilai, aturan tersebut dapat memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi para siswa yang sebelumnya telah menjalani pendidikan dengan sistematika yang baik. Dia mengibaratkan hal tersebut seperti air yang sudah mengalir, namun tiba tiba harus berhenti sekolah.

“(Kasus) itu sangat luar biasa. Jakarta banyak sekali yang cuti hanya gara-gara tidak diterima kurang satu hari dan ini baru saja kebijakan khusus lah masa cuman sehari itu seseorang harus cuti setahun,” ujar politikus Partai Gerindra itu.

Untuk itu, ia mengusulkan agar implementasi zonasi ini difokuskan pada siswa pada angkatan yang telah menerima aturan usia minimal tujuh tahun. “Kalau yang belum (mencapai umur tujuh tahun) memang itu habiskan dulu semua yang masing-masing dari TK ke SD enam tahun, baru ditetapkan itu ketika memang aturannya tugas boleh masuk SD usia tujuh tahun,” kata dia.

Sementara itu, Pemerhati dan praktisi pendidikan, Indra Charismiadji, tidak melihat adanya kehebohan dalam pelaksanaan PPDB tahun ajar 2022/2023. Namun, ada dua isu atau fenomena yang dia soroti tahun ini, yakni masih adanya pemikiran sekolah negeri favorit dan adanya sekolah dasar (SD) yang minim menerima siswa baru.

"Yang jelas stigma sekolah negeri favorit itu ternyata masih muncul, bahkan bukan hanya di orang tua, tapi di pemerintahnya sendiri. Jadi tidak paham konsep pelayanan publik itu seperti apa," ujar Indra lewat sambungan telepon, Kamis (14/7/2022).

Indra menjelaskan, hal itu dapat terlihat dari masih adanya kasus-kasus penitipan siswa lewat surat oleh anggota dewan dan kepala daerah. Menurut dia, hal tersebut menunjukkan, para pejabat daerah dan anggota dewan masih belum memahami konsep zonasi dan seperti apa kebutuhan di Indonesia.

Dia mengatakan, semestinya pemikiran seperti itu tidak boleh ada lagi. "Sekolah negeri itu tidak boleh ada sekolah favorit. Layanannya kan harus sama karena tidak berbayar. Kalau ada yang favorit kan berarti layanannya berbeda. Itu kan berarti ada diskriminasi. Itu yang masih terjadi sampai hari ini," kata dia.

Fenomena lainnya yang muncul pada PPDB tahun ini adalah munculnya beberapa SD negeri yang tidak punya siswa. Dia mengetahui ada SD negeri yang hanya menerima sedikit siswa, bahkan ada yang hanya satu siswa. Hal tersebut, kata dia, seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah daerah sejak lama dengan menggunakan data yang mereka miliki di wilayahnya.

"Saya ambil contoh saja, kemarin baru ke Kota Solo, kan muncul berita SD Sriwedari siswanya cuma satu. Tapi menariknya, di Solo itu masih ada sekitar tujuh persen anak usia SD yang belum bersekolah. Jadi kan menurut saya pemerintah daerahnya tidak tanggap untuk melihat kondisi," jelas dia.

Pemerintah daerah, kata dia, masih membiarkan saja proses PPDB berjalan seperti yang sudah-sudah. Padahal dengan zonasi pemerintah daerah seharusnya mencari semua anak yang ada di kota atau kabupaten tempat mereka bertugas. Setiap anak, kata dia, itu harus diberikan akses untuk bersekolah.

"Kenapa? Karena itu adalah perintah konstitusi. Setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Jadi itu bukan pilihan, tapi kewajiban," kata Indra.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement