Oleh : Gita Amanda, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, AG (15 tahun), Kamis (9/3/2023) lalu, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan yang menggegerkan Tanah Air. AG jadi perbincangan hangat dalam beberapa waktu terakhir, karena kasusnya bersama sang kekasih yang melakukan penganiayaan kepada korban D.
Banyak warganet yang terheran-heran, mengapa anak se-usia itu tega menyaksikan aksi pemukulan sadis yang dilakukan di hadapannya. Bahkan hingga menyebabkan korban koma. Malah katanya AG ikut merekam aksi kekerasan tersebut.
Lalu timbul banyak pertanyaan, mengapa AG tak berteriak menyaksikan kejadian sadis itu? Mengapa ia tak mencoba menghentikan? Aksi diamnya tentu membuat banyak orang berpikir ada apa dengannya?
Di tengah ramainya kasus AG, tiba-tiba publik kembali dikagetkan dengan kasus MR (11 tahun), siswa SD di Banyuwangi yang ditemukan tewas gantung diri di rumahnya. Alasan MR mengakhiri hidupnya pun miris, korban disebut-sebut sering mengalami perundungan oleh teman-temannya.
Padahal, MR selama ini dikenal sebagai sosok yang ceria. Keterangan dari guru sekolah juga mengatakan, MR bukan sosok yang suka menyendiri. Ia bersosialisasi dengan baik di sekolah.
Tapi keterangan berbeda diungkapkan keluarga MR. Menurut keterangan keluarga, MR kerap mengeluh diolok-olok temannya karena tak punya ayah. Setiap pulang sekolah MR sering kesal dan menangis.
Dari kasus MR publik tentu jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa anak 11 tahun memiliki ide mengakhiri hidup dengan gantung diri? Apa yang dirasakan anak itu hingga sanggup mengakhiri hidupnya sendiri?
Di hari yang sama dengan kasus gantung diri MR, lagi-lagi publik dibikin geleng-geleng kepala. Kali ini, kasus penganiayaan anak kembali terjadi.
Korbannya seorang remaja berusia 15 tahun di wilayah Pasuruan. Dalam video yang beredar viral seorang remaja T memukuli temannya N dengan 'ganas'. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilayangkan ke tubuh N tanpa ampun.
Tak sendiri, teman-teman T juga ikut memukuli N dengan beringasnya. Empat pelaku sudah diamankan polisi, meski sebelumnya sempat diamuk warga.
Tapi yang bikin heran, alasan pelaku melakukan pemukulan. Hanya karena korban tidak aktif di grup WhatsApp yang diikuti bersama para pelaku. Apa yang ada dibenak para pelaku? Alasan sepele membuat mereka membabi buta melakukan kekerasan.
Kekerasan dekat dengan keseharian
Dengan berbagai kejadian yang terjadi itu, kita jadi berpikir ada apa dengan anak-anak ini? Mengapa kekerasan seakan sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Dulu mungkin kasus saling pukul atau berantam sesama anak dan remaja juga sudah terjadi, tapi kali ini pelakunya lebih beringas nyaris tanpa kontrol.
Dalam sebuah seminar, Psikolog Leni Sintorini mengatakan banyak faktor mengapa anak-anak bisa sangat mudah melakukan kekerasan tanpa kontrol. Salah satu faktornya, anak-anak tak hanya dididik oleh orang tua. Namun, ada media sosial yang juga ikut "mengasuh" anak-anak di era ini.
Anak-anak saat ini lebih dekat dengan media sosial. Apa yang ditampilkan di media sosial tentu sangat beragam dan mudah diakses, yang pasti tak semua konten yang ada di media sosial ini cocok untuk anak-anak. Saking mudahnya diakses, anak-anak juga dengan mudah melihat, menyerap bahkan menirukan apa yang ditampilkan. Muatan kekerasan dalam game, aksi saling pukul di film, belum lagi kata-kata kasar yang dilontarkan para pemengaruh media sosial dengan sangat mudah diakses anak-anak.
Lihat saja, anak-anak saat ini lebih enteng mengeluarkan kata-kata kasar. Segala macam hewan dan makian dengan santai kerap menemani kata-kata yang keluar dalam perbincangan mereka. "Anjing lama bangat lo", "Goblok bukan gitu kali" dan banyak lagi kata makian lainnya yang seakan lumrah dilontarkan dalam pembicaraan sehari-hari anak-anak.
Tentunya ini akan dikembalikan terutama pada peran orang tua atau lingkungan terdekat anak. Bagaimana mendampingi tumbuh kembang mereka. Bagaimana menyaring apa yang mereka tonton atau saksikan. Jalin komunikasi yang baik dengan anak, buat anak terbuka dengan orang tua, sehingga mereka bisa mengutarakan apa yang mereka rasa dan apa yang meraka alami dalam keseharian.
Kehadiran orang tua dalam proses tumbuh kembang anak inilah, cara paling dekat untuk membuat anak-anak tumbuh dengan baik. Tentunya orang tua dan lingkungan terdekat anak juga harus menjadi contoh yang baik dulu. Saring "asupan" media sosial anak-anak. Apa yang masih bisa mereka tiru mana yang tidak boleh. Jika orang tua menyerahkan tumbuh kembang anak ke media sosial, akan jadi apa anak-anak kedepannya?
Selain peran orang tua yang amat penting, lingkungan sekitar dan sekolah juga punya peranan menghapus bullying dan kekerasan pada anak. Kemendikbud melalui Permendikbud tentang kekerasan sudah berupaya memfasilitasi para korban bully untuk melapor. Kemendikbud juga mendorong peran pemerintah daerah, sekolah dan semua pihak untuk membantu mengatasi masalah kekerasan di kalangan anak-anak ini. Tapi sampai sejauh mana upaya ini berjalan?
Nampaknya pemerintah juga harus mengeluarkan regulasi khusus terkait apa yang bisa diakses anak-anak melalui media sosial. Kalau dulu KPI bisa melakukan penyaringan pada tayangan televisi, lalu bagaimana sekarang? Tentu akan sulit. Karena media sosial sangat mudah diakses siapa pun dimana pun. Dulu tayangan bermuatan kekerasan atau pornografi di film bisa disaring melalui lembaga sensor. Tapi saat ini? Meski ada yang disaring, namun untuk mendapatkan tayangan yang tak disaring pun sangat mudah. Ini tentu akan jadi PR luar biasa untuk semua pihak.