Jumat 21 Apr 2023 05:51 WIB

Idul Fitri: Membangun Keharmonisan Dan Kedamaian

Pemerintah mengakui demokrasi dalam beragama terkait dengan Lebaran.

Perbedaan penetapan 1 Syawal adalah pelajaran untuk saling menghormati perbedaan. Idul Fitri Ilustrasi
Foto: Republika/Wihdan
Perbedaan penetapan 1 Syawal adalah pelajaran untuk saling menghormati perbedaan. Idul Fitri Ilustrasi

Oleh : Arsul Sani, Wakil Ketua MPR RI / Wakil Ketua Umum PPP

REPUBLIKA.CO.ID, Idul Fitri 1444 H/2023 M ini menjadi  lebaran yang cukup istimewa bagi kaum muslimin di tanah air, dan mungkin juga di sejumlah negara lainnya, jika dibandingkan lebaran dua-tiga tahun sebelumnya. Arus mudik kembali bergerak, masjid dan lapangan bakal dipenuhi para jamaah salat Id, dan orang-orang akan kembali bersilaturahim secara fisik. Itu semua karena pandemi Covid-19 dinyatakan telah berakhir – meskipun ada kekhawatiran menyebarnya varian baru Covid -19, Arcturus.

Hal lain yang unik di tanah air pada Idul Fitri 1444 H ini adalah perbedaan hari/tanggal mulai berlebaran. Sebagian kaum muslimin, khususnya warga Muhammadiyah,  menyelenggarakan salat Idul Fitri pada hari Jumat, 21 April 2023. Sedangkan sebagian lainnya mengikuti ketetapan Pemerintah yang didahului dengan sidang isbat yang diikuiti oleh berbagai perwakilan ormas Islam lainnya. Dalam sidang isbat ini, 1 Syawal 1444 ditetapkan jatuh pada Sabtu, 22 April 2023.

Perbedaan dalam menentukan 1 Syawal ini sesungguhnya juga beberapa kali terjadi bahkan sejak zama Orde Baru. Pada masa itu justru warga NU yang sering berbeda dengan ketetapan Pemerintahan Orde Baru yang lebih mendasarkan pada metode hisab dan cenderung meninggalkan rukyah. Padahal metode rukyatul hilal justru yang menjadi pegangan kaum nahdhiyin, sedangkan hisab hanya menjadi wasilah atau alat agar rukyah bisa dilakukan. Singkatnya, perbedaan dalam merayakan lebaran 1 Syawal di kalangan kaum muslimin di Tanah Air sesungguhnya bukan hal yang baru dan luar biasa dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia.

Lalu mengapa dalam dua hari terakhir ini soal perbedaan 1 Syawal 1444 H. ini demikian ramai dan cukup menyita ruang media kita, terlebih media sosial kita. Sejumlah faktor tentu bisa disebut sebagai jawabannya. Era keterbukaan dalam mengekspresikan pendapat dan pandangan melalui media sosial maupun media arus utama harus diakui memegang faktor penting sebagai (salah satu) penyebab dominan. Keramaian - untuk tidak mengatakan kegaduhan - terjadi karena ekspresi tersebut selain diwujudkan dengan pilihan bahasa yang berlebihan atau didasari prasangka jelek (suudzon), juga kadang dicampur dengan sikap dasar berseberangan dari sejumlah orang dengan apapaun yang datang dari pemerintahan saat ini.

Salah satu yang kerap dikemukakan dalam soal penentuan Idul Fitri adalah meminta agar tradisi sidang isbat itu ditiadakan saja, dan soal kapan umat Islam mau ber-idul fitri maka agar diserahkan saja kepada (masing-masing kelompok) umat Islam sepenuhnya.

Tentu ada hal yang patut disampaikan balik terhadap mereka yang berkeinginan menghapuskan tradisi sidang isbat dan ketetapan pemerintah dalam penentuan awal Idul Fitri. Pertama, tradisi sebagaimana sidang isbat (namun dalam format yang berbeda-beda) dan dikeluarkannya ketetapan atau pengumuman pemerintah terkait 1 Syawal itu bukan cuma monopoli Indoneisa. Boleh dikatakan semua negara Islam, setidaknya dalam pengertian yang mayoritas penduduknya umat Islam, juga mengeluarkan ketetapan atau pengumuman pemerintah yang sama terkait awal dan akhir Ramadhan. Kedua, ketetapan Pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh Kementerian Agama tersebut bukan ketentuan hukum yang bersifat memaksa atau mengikat.

Dari sisi prinsip negara demokrasi, ketetapan Pemerintah Indonesia soal awal dan akhir Ramadhan itu boleh atau terbuka untuk tidak diikuti. Artinya, "demokrasi" dalam menjalankan keyakinan beragama terkait lebaran lebaran itu diakui oleh Pemerintah. Bahkan secara terbuka Menteri Agama meminta agar mereka yang berbeda dengan ketetapan Pemerintah untuk difasilitasi dalam menjalankan sholat idul fitri terlebih dahulu. Oleh karena itu malah menjadi "kurang demokratis" siapapun yang memaksakan agar tradisi sidang isbat ditiadakan, sementara pada saat yang sama sebagian ormas atau kelompok umat Islam tetap mendukungnya dengan selalu hadir dalam sidang tersebut.

Sejatinya sikap yang kita perlukan agar harmonisasi dan kedamaian diantara umat Islam tetap terjaga adalah mampu mengedepankan sikap tasamuh atau toleran dalam menghadapi perbedaan dalam penentuan 1 Syawal. Tasamuh  atau  toleran   adalah sikap lapang dada  baik terhadap sesama muslim maupun non-muslim pemeluk agama lain untuk menyatakan dan menerapkan keyakinannnya. Dengan demikian, seorang muslim dan komunitas muslim harus menganut pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dengan komuntas-komunitas lain yang berbeda dalam memahami dan menerapkan ajaran agama.

Dalam pandangan Islam, toleransi merupakan titik tolak yang penting dalam membangun perdamaian (salam). Al-Qur'an mengajarkan bagaimana membangun perdamaian di tengah masyarakat yang memiliki  umat beragama yang berbeda-beda, dan mengakui perbedaan keyakinan dan budaya. Islam menekankan betapa pentingnya pemeliharaan hubungan yang baik,  di  antara sesama muslim dan penganut agama lain, karena, sebagaimana ditekankan oleh Al-Qur'an, kebebasan dalam menjalankan agama merupakan fondasi  bagi perdamaian yang berkelanjutan. Al-Qur'an menyeru semua orang yang beriman untuk masuk ke dalam perdamaian dan tidak mengikuti langkah setan  (Q.S. 2: 208).

Al-Qur'an memberikan landasan yang  kuat bagi toleransi. Hal ini  dapat dilihat dalam surat Al-Isrā’ ayat  70 yang menegaskan bahwa manusia diberikan posisi yang mulia di antara makhluk ciptaan-Nya. Ini diikuti oleh tanggung jawab untuk memelihara semua ciptaan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi. Surat Al-Ma’idah ayat 32 dan Al-An‘am  ayat  98  yang berbicara tentang kesamaan asal muasal manusia yang membuat semua manusia saling berhubungan.

Hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai, baik dengan sesama muslim maupun penganut agama lain  yang berbeda, hemat penulis, tidak cukup. Sebab, masih dimungkinkan timbulnya kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Oleh karena itu,  penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan ini harus disertai dengan kesediaan untuk bekerja sama, saling tolong-menolong (ta’awun) satu sama lainnya. Tentu dalam bermuamalah, bukan dalam konteks akidah dan ibadah.

Terciptanya tasamuh dalam kehidupan beragama dan bersuku-bangsa akan meminimalisasi terjadinya politisasi dan radikalisme agama. Jika keberagamaan tidak memiliki nilai-nilai tasamuh  akan mengarah dan membentuk fanatisme yang berlebihan. Nilai ini pada dasarnya sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Semoga warisan kultural yang amat berharga ini bisa terus kita rawat, sehingga benar-benar terwujud suasana yang tenteram dan damai (salam). Bukankah ini yang kita dambakan, juga di hari lebaran ini?

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1444 H. Taqabbalallahu minna wa minkum. Minal aidin aal faizin. Mohon maaf lahir batin.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement