Ahad 23 Apr 2023 10:56 WIB

Hilal Itu Keyakinan

Usaha untuk menyatukan kriteria visibilitas hilal harus tetap dilakukan.

Rakhmad Zailani Kiki
Foto: Dokpri
Rakhmad Zailani Kiki

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)

Dari pengalaman saya bertahun-tahun mengurusi masalah falakiyah, baik hisab maupun kegiatan rukyatul hilal, di Jakarta Islamic Centre (JIC), maka dapat disimpulkan bahwa hilal itu masalah keyakinan.

Keyakinan adalah sikap subjektif bahwa sesuatu atau proposisi itu benar. Seperti keyakinan para penganut bumi datar (flat earth). Seperti apapun diberikan bukti-bukti ilmiah yang kuat kepada mereka, karena sudah menjadi keyakinan yang mendarah daging atau ortodoksi, maka tidak pernah mengubah keyakinan mereka bahwa bumi itu datar, bukan bulat.

Padahal, di antara para penganut bumi datar ini adalah rang-orang pintar di bidangnya, ilmuwan atau cendikiawan. 

Begitu pula dengan penganut dengan keyakinan kriteria visibilitas atau kepenampakan hilal tertentu, seperti penganut yang berpegang pada pendapat bahwa hilal sudah terlihat di atas nol derajat atau penganut yang berpendapat bahwa hilal terlihat melalui pasang surut air laut atau hilal terlihat melalui penglihatan qalbu atau penganut pendapat Habib Utsman bin Yahya, mufti Betawi, yang menyatakan bahwa mustahil hilal terlihat di bawah tujuh derajat dengan mata telanjang atau pendapat-pendapat lainnya yang menjadi keyakinan yang tidak dapat tergoyahkan bagi para penganutnya, menjadi ortodoksi yang sudah mendarah daging.

Karena sudah menjadi keyakinan yang tidak dapat tergoyahkan, sekuat apapun usaha Kementerian Agama RI dan pihak-pihak terkait yang dilakukan sudah puluhan tahun untuk menyatukan para penganut ini yang jumlahnya relatif banyak dalam satu kesepakatan kriteria penentuan visibilitas hilal, saya berpendapat tidak akan pernah terjadi alias tidak akan pernah berhasil, jika tidak didasarkan pada sikap toleran dan kerelaan.

Yang bisa terjadi malah adanya kesan pemaksaaan dan sikap intoleran untuk menyepakati tawaran kriteria tertentu dalam menyatukan kriteria visibilitas hilal. Jika ada kesan pemaksaaan seperti ini malah menciptakan ketegangan antar kelompok masyarakat atau ormas Islam dengan pemerintah pusat dalam ini dengan Kementerian Agama RI yang dapat memecah belah kehidupan antar umat, berbangsa dan bernegara.

Saat ini, yang perlu dilakukan oleh Kementerian Agama RI dan ormas-ormas Islam yang sepaham dengannya adalah menyosialisasikan dan memperkuat toleransi sesama umat Islam yang berbeda keyakinan dalam kriteria penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal atau awal bulan baru dalam kalender hijriyah.

Toleransi sendiri adalah sikap membiarkan, mengizinkan, atau menerima tindakan, ide, objek, atau orang yang tidak disukai atau tidak disetujui. Jangan sampai toleransi hanya diserukan dan diperkuat kepada non Muslim, tapi kepada sesama Muslim malah bersikap intoleran, terutama dalam masalah kriteria penentuan visibilitas hilal.

Sebagai contoh sikap toleran yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan ormas-ormas yang sepaham terhadap kelompok umat atau ormas Islam yang berbeda hari raya dengan hasil Sidang Isbat adalah mengakui adanya perbedaan tersebut, memfasilitasi perayaannya, dan memberikan apresiasi dan ucapan selamat hari raya yang berbeda dengan ketetapan pemerintah pusat; walau penetapan hari raya yang resmi berlaku tetap di tangan pemerintah pusat melalui Sidang Isbat.

Akhir kalam, jadikanlah Idul Fithri 1444H ini yang berbeda harinya di antara kelompok umat Islam di Indonesia sebagai wujud  toleransi yang kuat dalam perbedaan, dalam kebhinnekaan, yang penuh rahmat, saling mengasihi, menyayangi dan menghormati dengan suasana riang gembira sehingga menjadi kekayaan dan keunggulan dari bangsa ini yang dapat dibanggakan kepada bangsa-bangsa lainnya atas kemampuan pemerintah pusat, umat dan bangsa Indonesia dalam mengelola perbedaan.

Namun, usaha untuk menyatukan kriteria visibilitas hilal harus tetap dilakukan dengan semangat kerelaan, yang tidak mau jangan dipaksakan sampai ada kesadaran dari internal mereka sendiri untuk menerima penyatuan. Inilah inti dari Idul Fithri 1444 H, yaitu kebersamaan dan penghormatan dalam perbedan dengan penuh kerelaan dan kasih sayang. Semoga Allah SWT menerima puasa kita di bulan Ramadhan tahun ini. Aamiin.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement