Oleh : Lida Puspaningtyas, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Hanya sandwich generation yang mengerti rasanya jadi sandwich generation. Generasi ini menjadi sangat rentan karena harus menanggung imbas dari lemahnya literasi keuangan generasi sebelumnya.
Kita sebut saja Budi, pria usia 30 tahun yang belum menikah. Berkeinginan menikah, tapi dana seret dan sering diputuskan pacar yang mundur karena statusnya sebagai generasi sandwich.
Penghasilan Budi digunakan untuk membayar utang orang tuanya yang ratusan juta rupiah. Ya utang ke bank, ke sanak saudara, kiri kanan tetangga, membiayai kakak adiknya. Orang-orang zaman sekarang menyebutnya sapi perah.
Tentu saja, kasus ini menjadi sangat kompleks. Dari sisi ekonomi, potensi produksi, konsumsi, dan investasi Budi akan berkurang. Ia jadi tidak bisa menjalankan aktivitas ekonomi pria umur 30-an yang tentu lebih besar dari konsumsi lansia.
Dana yang ia hasilkan harus digunakan untuk membayar aktivitas ekonomi orang tuanya yang sudah tidak produktif. Lebih parah lagi, utang bank orang tua Budi kena malapetaka anuitas riba yang membuatnya jadi berkali-kali lipat dari pokok utang.
Kalau sudah seperti ini, hanya bank yang diuntungkan. Dengan Budi membayar utang, rasio kredit bermasalah (NPL) bank membaik. Ia tidak lagi masuk jajaran kredit macet. Bank bisa kembali untung. Pribadi yang diutangi orang tua Budi pun akhirnya bisa kembali melakukan aktivitas ekonomi yang sempat tersendat.
Secara makro, tumbuhnya kredit perbankan jadi tolok ukur pertumbuhan ekonomi. Padahal apanya yang bertumbuh? Budi tetap kehilangan dayanya untuk beraktivitas ekonomi secara riil. Berproduksi, konsumsi, dan investasi.
Budi seharusnya punya dua power dalam menumbuhkan ekonomi. Pertama dari sisi earning, kedua sisi spending. Ia menumbuhkan ekonomi hanya dari sisi earning, dengan bekerja, mendapatkan gaji, atau berwirausaha membuka lapangan kerja.
Namun, ia kehilangan satu daya spending-nya. Padahal seharusnya, aktivitas spending juga menumbuhkan perekonomian warganya.
Tentu saja, ini hanya dilihat dari satu sisi, yang juga tidak sempurna. Masih ada dimensi lain yang perlu dieksplorasi. Misal, dari sisi spiritualitas Islam. Bahwa memberi pada orang tua tidak akan merugi. Bahwa siapa tahu rezeki orang tua dititipkan melalui anak. Bahwa Allah akan mengganti berkali-kali lipat setiap sedekah yang dikeluarkan. Bahwa balasannya nanti tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Pada akhirnya, alasan ini yang punya potensi lebih besar seorang Budi bisa menyelesaikan masalah hutang orang tuanya. Dengan catatan, tanpa menanam masalah baru. Ini hanya bisa dilakukan dengan literasi keuangan. Baik pada orang tua Budi maupun Budi sendiri. Jangan sampai Budi membayar utang orang tuanya dengan pinjol, atau dengan main judi online. Tidak ada perubahan dong, hanya akan melahirkan generasi sandwich lagi nantinya.
Itulah mengapa, literasi keuangan sangat fundamental untuk membangun negara yang maju dan besar. Negara yang maju dan besar itu bukan yang seperti Amerika Serikat, Eropa, Group of Seven. Melainkan, negara yang tidak punya kesenjangan ekonomi. Negara yang tidak punya orang miskin.
Memang? Ada, sekitar 1.300 tahun lalu. Saat kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz di Dinasti Umayyah, saat itu tidak ada orang yang berhak menerima bantuan sosial berupa zakat. Semuanya mampu, punya power ekonomi lengkap.