Jumat 19 May 2023 16:08 WIB

Peran Bank Sentral di Balik Kesejahteraan Buruh

Ada peran besar bank sentral di balik ikhtiar mensejahterakan hidup tenaga kerja.

Ada peran besar bank sentral di balik ikhtiar mensejahterakan hidup tenaga kerja.
Foto: AP Photo/Dita Alangkara
Ada peran besar bank sentral di balik ikhtiar mensejahterakan hidup tenaga kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adhi Nugroho, Kepala Unit Humas Bank Indonesia Kalimantan Selatan

Asa hidup sejahtera selalu disuarakan barisan pekerja setiap kali memperingati Hari Buruh sedunia. Tidak banyak yang tahu, ada peran besar bank sentral di balik ikhtiar mensejahterakan hidup tenaga kerja. Di beberapa negara, peran itu bahkan termuat dalam mandat bank sentral.

Bank Sentral Amerika Serikat (AS), misalnya, sejak 1977 dibekali dua mandat, yaitu memaksimalkan serapan tenaga kerja (employment) dan menjaga stabilitas harga. Mandat ketenagakerjaan bahkan selalu ditempatkan pada urutan pertama dalam setiap rilis keputusan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC).

Selain menjaga tingkat inflasi agar rendah dan stabil, tingkat serapan tenaga kerja yang optimal (maximum employment) dipercaya akan melahirkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kesejahteraan sosial. Beberapa bank sentral di negara lain seperti Australia, Inggris, Selandia Baru, Eropa, Argentina, dan Brasil juga punya mandat ketenagakerjaan.

Kendati demikian, dalam praktiknya bank sentral akan terus berupaya mencari titik keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menciptakan banyak lapangan kerja. Namun pada sisi lain, jika mesin ekonomi sudah bekerja terlalu panas, maka tingkat inflasi cenderung meningkat. Sehingga daya beli masyarakat, termasuk pekerja, akan menjadi taruhannya.

Krisis minyak dunia pada 1973 membuka banyak mata bank sentral akan pentingnya menjaga titik keseimbangan itu. Sebelumnya, lewat Kurva Phillips, para ekonom percaya inflasi yang tinggi akan berbanding terbalik dengan pengangguran. Dengan kata lain, semakin tinggi inflasi, semakin tinggi pula serapan tenaga kerja.

Kurva Phillips nyatanya gagal menjelaskan fenomena stagflasi di AS yang terjadi saat itu. Perekonomian terkontraksi atau tumbuh negatif, disertai tingkat inflasi yang tinggi. Situasi yang sebelumnya tidak pernah terjadi sepanjang sejarah ekonomi AS. Mirip seperti situasi tiga tahun terakhir ketika ekonomi dunia diterpa krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19.

Berkaca dari fakta historis tadi, bank sentral era modern terus berbenah diri. Berbekal independensi, bank sentral meyakini tujuan utama mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare), termasuk kesejahteraan optimal para pekerja, hanya akan tercapai pada titik keseimbangan: ekonomi tumbuh kuat disertai inflasi rendah dan stabil.

Titik keseimbangan itu kemudian diupayakan lewat berbagai instrumen kebijakan bank sentral. Ketika ekonomi butuh daya ungkit, bank sentral mengambil kebijakan moneter ekspansif. Misalnya dengan menurunkan suku bunga acuan, agar mendorong sektor riil berinvestasi dan merekrut lebih banyak pekerja.

Sebaliknya, ketika tingkat inflasi melampaui target yang ditetapkan, bank sentral akan mengambil kebijakan moneter kontraktif. Contohnya dengan menaikkan suku bunga acuan agar memberi ruang koreksi bagi perekonomian sehingga inflasi kembali ke sasaran yang ditetapkan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement