Jumat 03 Oct 2025 21:58 WIB

Cendekiawan Hukum Penjaga Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai garda pengawal konstitusi.

Palu hakim (Ilustrasi).
Foto: EPA
Palu hakim (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Teguh Satya Bhakti, S.H.,M.H, Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Pemuda ICMI

Bangsa Indonesia akhir-akhir ini tampaknya sedang berada dalam persimpangan jalan yang seakan-akan mengalami disorientasi akut. Lebih dari dua dekade reformasi, Indonesia masih berkutat pada problem penegakan hukum dan konsolidasi demokrasi. Meski kita memiliki UUD 1945 yang telah diamandemen, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai garda pengawal konstitusi, serta pemilu langsung, tetapi praktik politik di lapangan kerap kali menabrak kaidah hukum dan etika. Alhasil, kita seperti sempoyongan, bertengger dalam dilema tak berujung.

Aneka macam politik transaksional, korupsi yang merajalela, dan kriminalisasi aktivis mencerminkan jurang yang lebar antara idealitas hukum dan realitas ironi di lapangan. Akibatnya, kenyataan hukum yang tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah terasa kental. Di tengah karut-marut dan kompleksitas hukum seperti ini, kita memerlukan kehadiran cendekiawan hukum, bukan hanya sebagai akademisi-mekanik yang bergumul dengan teori-teori, tetapi menjadi aktor perubahan yang mewarnai jalan penegakan hukum di tataran praktis.

Cendekiawan hukum memiliki posisi vital sebagai pengawal demokrasi dalam bingkai negara hukum. Salah satu organisasi yang tercatat ikut mencetak cendekiawan hukum, antara lain Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), termasuk generasi muda yang terhimpun dalam Pemuda ICMI. Mereka tampil sebagai ujung tombak dalam membangun sistem hukum yang berkeadilan, sekaligus jangkar moral di tengah gonjang-ganjing politik.

Organisasi yang lahir pada 7 Desember 1990 di Malang ini tidak hanya menjadi tenda besar bagi kaum intelektual, tetapi juga pionir kebangkitan umat yang turut memainkan peran dalam lanskap pembaruan sosial, politik, ekonomi, dan hukum nasional. Di bawah kepemimpinan BJ Habibie (Presiden RI ke-3) dengan spirit teknokratik yang kuat, ICMI menjadi ruang strategis yang mewadahi intelektual Muslim dari berbagai spektrum disiplin ilmu, termasuk hukum.

Di bidang hukum, sejumlah tokoh ICMI ikut berkontribusi dalam gegap gempita reformasi hukum pascakemelut politik 1998. Sebut saja Prof. Jimly Asshiddiqie, Prof. Mahfud MD hingga Dr. Hamdan Zoelva, ketiga-tiganya merupakan mantan Ketua MK, dikenal sebagai cendekiawan hukum yang punya basis intelektual yang mengakar. Tentu masih banyak lagi cendekiawan hukum yang lahir dari rahim ICMI, baik begawan senior maupun tokoh-tokoh muda yang belakangan muncul dalam arena diskusi publik dan perdebatan intelektual. Ada advokat, akademisi, aktivis LSM, birokrat, aparat penegak hukum, dan sebagainya.

Jejak rekam cendekiawan hukum tersebut menunjukkan ICMI merupakan katalisator perubahan dalam kerangka negara hukum yang demokratis. Di tengah realitas kebangsaan yang ironis akhir-akhir ini, maka lakon akademis-mekanik dalam menara gading tidaklah cukup. Permainan narasi yang bermain aman tanpa keberpihakan yang jelas, juga tidaklah cukup. Kita memerlukan simpul cendekiawan hukum yang aktif mempengaruhi opini publik, melakukan advokasi kebijakan, turun gunung dan mengkritik ketidakadilan secara lantang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement