Oleh : Setyanavidita Livicakansera, Jurnalis Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Era digital, telah mendatangkan banyak perubahan, salah satunya dalam dinamika dunia kerja. Dengan hadirnya pelayanan jasa lewat aplikasi, seperti Gojek, Grab, dan lokapasar, konsep gig economy pun merebak.
Sistem gig economy, juga dikenal sebagai ekonomi berbasis tugas atau ekonomi on-demand. Konsep ini merujuk pada model ekonomi di mana pekerjaan dikerjakan dengan sementara atau berupa proyek singkat, yang ditawarkan kepada pekerja lepas atau pekerja independen.
Dalam sistem ini, platform daring sering bertindak sebagai perantara antara pekerja dan pelanggan yang membutuhkan jasa atau produk. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tren gig economy di Indonesia sedang berkembang dilihat dari jumlah pekerja lepas per-Agustus tahun 2020 sebanyak 33,33 juta.
Jumlah ini, naik sekitar 26 persen dari 2019. Saat ini berbagai perusahaan rintisan juga banyak merekrut pekerja independen. Karena pekerja independen ini tidak mengikat pada perusahaan, juga perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk akomodasi karyawan.
Bahkan di Amerika menurut Small Business Labs, 50 persen usaha kecil yang ada di sana, menggunakan pekerja independen untuk mengerjakan proyek-proyeknya.
Sistem gig economy, memiliki pro dan kontranya tersendiri. Konsep kerja seperti ini, memang memberikan fleksibilitas waktu kerja yang tinggi bagi para pekerja.
Mereka dapat memilih tugas atau proyek yang ingin mereka kerjakan, serta menentukan jam kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pribadi mereka. Selain itu, gig economy juga dapat memberikan kesempatan untuk menghasilkan uang tambahan dengan bekerja pada proyek-proyek sampingan.
Platform gig economy juga seringkali memiliki cakupan internasional. Hal ini, memungkinkan pekerja untuk menjual jasa atau produk mereka kepada pelanggan di seluruh dunia. Dari sisi pelanggan sebuah layanan digital, model gig economy memungkinkan pelanggan untuk dengan cepat mendapatkan jasa atau produk yang mereka butuhkan dengan menghubungkan mereka langsung dengan pekerja yang tersedia di platform.
Sayangnya, meski kini makin banyak diadopsi para pekerja yang makin digital oriented, konsep gig economy juga memiliki banyak aspek yang perlu menjadi perhatian. Dari segi pendapatan, pendapatan pekerja gig economy sering kali tidak stabil dan tidak terjamin.
Pekerja juga sering menghadapi fluktuasi dalam jumlah tugas atau proyek yang tersedia, yang dapat memengaruhi pendapatan mereka secara signifikan. Selain itu, salah satu kekurangan utama gig economy, adalah tak adanya perlindungan sosial.
Pekerja gig economy sering kali dianggap sebagai pekerja independen, bukan pekerja tetap. Akibatnya, mereka mungkin tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan manfaat dan perlindungan sosial seperti asuransi kesehatan, cuti sakit, atau pensiun yang dijamin bagi pekerja tetap.
Kemudian, dalam perkembangannya, beberapa sistem gig economy juga kerap menghadapi kontroversi terkait perlakuan dan hak-hak pekerja. Ada masalah seperti upah yang rendah, kekurangan hak buruh, dan kurangnya perlindungan terhadap diskriminasi atau pelecehan.
Persaingan yang intens di antara platform digital saat ini, juga berdampak pada kesejahteraan para pekerja gig economy. Hal ini dapat menghasilkan penurunan harga jasa dan mengakibatkan penurunan pendapatan bagi pekerja.
Meski banyak pihak yang menganggap gig economy merupakan salah satu karakter utama dalam era digital, berbagai penelitian telah mengkritisi penggunaan hubungan kemitraan dalam gig economy. Putusan pengadilan di beberapa negara bahkan secara jelas menyatakan bahwa hubungan yang terjadi di platform-platform gig economy, misalnya Uber, tidak selayaknya diklasifikasikan sebagai hubungan kemitraan melainkan sebagai hubungan kerja.
Sebab, platform penyedia jasa memiliki kontrol yang besar terhadap “mitranya”, misalnya lewat penggunaan algoritma yang “memaksa” pekerja untuk terus mengambil order jika ingin performa kerjanya terjaga. Sayangnya, di Indonesia, belum ada perkembangan pengaturan yang signifikan terkait dengan hubungan kemitraan di Indonesia.
Padahal, pertumbuhan pekerja gig economy di Indonesia cukup pesat. Meski belum terdapat data pasti, laporan Fairwork Indonesia meyakini bahwa terdapat setidaknya 2,5 juta pekerja gig berbasis sepeda motor, dan seperlima dari populasi Indonesia pernah menggunakan salah satu dari layanan-layanan yang menggunakan konsep gig economy pada pekerjanya.
Sudah saatnya, dunia digital tak lagi dianggap sebagai konsep kerja yang serba ideal, modern, dan kekinian dalam arti segala hal tentangnya itu positif. Tapi, juga kita harus membuka mata, bahwa banyak sisi gelap dari dunia digital yang memiliki urgensi untuk segera dibenahi.
Salah satunya, adalah kesejahteraan jutaan pekerja gig economy. Mereka disebut mitra, namun jarang diperlakukan secara setara. Mereka juga kerap dituntut untuk terus memiliki produktivitas tinggi, tapi tanpa proteksi sama sekali.
Dari sisi kita, sebagai konsumen atau pengguna layanan, empati bisa diberikan melalui tip, tapi hal itu tetap saja tak cukup. Perlu ada peninjauan dan regulasi yang jelas untuk mengatur hak dan perlindungan dari para pekerja gig economy ini.