REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Guntur Soekarno, Ketua Dewan Idiologi DPP PA GMNI / Pemerhati Sosial
Empat hingga lima bulan belakangan ini kita dipusingkan adanya polusi udara terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta, Surabaya bahkan Bali. Karena tingkat polusinya sudah sedemikian tingginya Presiden Jokowi terpaksa mengambil beberapa kebijaksanaan yang cukup drastis antara lain dianjurkan agar ASN maupun karyawan-karyawan perusahaan bekerja dari kediaman (WFH) dan tidak di kantor.
Ide lain dari Presiden adalah mengurangi beroperasinya ribuan mobil di kota-kota besar dengan jalan mobil yang boleh beroperasi harus diisi oleh empat orang. Kemudian disarankan bila kita keluar rumah untuk suatu keperluan agar menggunakan masker.
Terus terang penulis belum sepenuhnya yakin kebijaksanaan tersebut akan mengurangi polusi udara secara signifikan. Ditinjau dari pikiran-pikiran dan ajaran-ajaran Bung Karno hal di atas adalah kita berarti melakukan reform aksi (aksi kecil kecilan/pragmatis) yang harus dibarengi dengan melakukan doels aksi (aksi maksud tertinggi) (Soekarno; DBR jilid 1).
Bila kita berbicara doels aksi berarti pikiran kita sudah harus mencakup adanya polusi udara sedunia atau adanya polusi udara di seluruh planet bumi. Beberapa dekade yang lalu bumi mempunyai lokasi-lokasi yang menjadi paru-paru seluruh bumi yaitu hutan perawan yang berada di Indonesia, Brazil dan Kongo.
Rusaknya Paru-Paru Udara di Bumi
Ketika ketiga hutan perawan di tiga negara tadi masih dalam keadaan perawan, tidak dijamah oleh manusia, serta dijaga kelestariannya oleh pemerintahnya, maka polusi di bumi boleh dikatakan masih dalam batas-batas toleransi. Namun akibat adanya nafsu ekonomi kapitalistis yang ingin mengolah hutan-hutan perawan tadi untuk menghasilkan keuntungan di bidang ekonomi, mulailah kekuatan-kekuatan kapitalis internasional menekan, bahkan mendesak dengan cara mencoba melakukan kolonisasi terhadap tiga negara paru-paru dunia Indonesia, Brazil dan Kongo.
Di Indonesia Presiden Soekarno didesak pihak konglomerat-konglomerat Yahudi Amerika agar mengizinkan adanya HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Syukur saat itu secara tegas dan lugas Bung Karno menolak tekanan-tekanan tersebut dan tetap melarang adanya HPH di Indonesia.
Brazil mengalami juga hal yang sama dengan Indonesia. Sayangnya pemerintah Brazil kurang berani mengadakan perlawanan untuk mempertahankan kelestarian hutannya dengan mengizinkan pengolahan hutannya walaupun secara terbatas. Mulailah hutan hutan di tepian sungai Amazona secara perlahan akan tetapi pasti terkikis habis oleh usaha konglomerat Yahudi dari Amerika Serikat.
Lebih menyedihkan lagi adalah nasib hutan lindung dari Kongo. Setali tiga uang dengan yang lain pemerintahnya ditekan habis-habisan oleh kapitalis kapitalis Wall Street, bahkan dengan todongan senjata. Alhasil pemimpin muda Flamboyan dari Kongo yang secara Patriotik melawan tekanan-tekanan kekuatan kapitalis-kapitalisme Amerika Serikat digulingkan dari kekuasaannya (kudeta) dan tidak tanggung-tanggung dieksekusi mati. Patriot muda tadi bernama Patrice Lumumba.
Dengan adanya kejadian-kejadian di atas maka hutan lindung bumi, paru-paru bumi hanya berfungsi sepertiga dari yang dibutuhkan untuk menjaga agar tidak terjadi polusi di bumi. Lebih lagi ketika Bung Karno di dongkel dari kekuasaannya melalui TAP MPRS 33 1967 dan kemudiannya Soeharto menjadi pejabat Presiden.
Atas persetujuan Soeharto, Widjojo Nitisastro dengan Berkeley Mafianya membuka lebar-lebar keran HPH bagi pengusaha-pengusaha yang berminat. Semua ini berakibat hutan-hutan lindung di Kalimantan yang berfungsi hanya sekitar 40 persen kemudian Pulau Batam yang tadinya dijadikan kawasan lindung bagi hutan pohon Palem Merah karena dibuka untuk usaha investasi anjlok sekitar hanya 10 persen yang efektif sebagai kawasan lindung.
Hutan perawan Sumatera mengalami nasib yang sama 70 persennya sudah menjadi hutan usaha. Semua itu membuat hutan lindung dan paru-paru dunia paling banter berfungsi sekitar 30 persen yang masih efektif 70 persennya sudah berubah fungsi. Dalam kondisi yang demikian ini logislah bila terjadi polusi udara di seluruh kawasan dunia. Hal tersebut terjadi diperkirakan lebih kurang lima sampai enam dekade lalu.
Kini saat industri otomotif, pabrik-pabrik berbagai macam produk industri telah beroperasi membuat polusi bertambah menjadi-jadi. Usaha-usaha reform aksi seperti menanam mangrove, pengetatan peraturan HPH dengan metode tebang pilih dan lain sebagainya nyata-nyata tidak efektif menghilangkan polusi udara.
Menurut hemat penulis, saat ini bukan hanya tiga negara, Indonesia, Brazil dan Kongo yang harus diperbaiki agar dapat menjadi paru-paru dunia, melainkan seluruh negara yang mempunyai hutan harus dapat bersatu padu bekerja sama mencari jalan keluar. Tujuannya agar polusi yang mendunia ini dapat diatasi sedemikian rupa sehingga makhluk yang bernama manusia ataupun hewan dapat menghirup lagi udara segar yang sangat diperlukan bagi kesehatan semua makhluk hidup lainnya.
Salah satu caranya adalah seperti apa yang dilakukan oleh Bung Karno yang berani mengambil tindakan tegas bagi perusak lingkungan hidup. Di era tersebut seseorang yang menebang pohon tanpa izin menghadapi tindakan tegas dari pemerintah, yaitu yang bersangkutan menghadapi pemecatan dari jabatan bila yang bersangkutan seorang ASN (Aparatur Sipil Negara/PNS) untuk non ASN. Termasuk TNI langsung dipecat dari jabatan dan dijebloskan ke dalam penjara untuk waktu yang tidak ditentukan tergantung berapa besar dan tua pohon yang ditebangnya.
Pertanyaannya dapatkah tindakan seperti di atas tersebut saat ini diberlakukan oleh administrasi Presiden Joko Widodo? Jawabannya sangat muskil!