REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, dibutuhkan pendanaan sebesar 281,23 miliar dolar AS atau Rp 4 kuadriliun untuk penuhi target 29 persen pengurangan emisi karbon di Indonesia pada tahun 2030.
"Karena perubahan iklim efeknya keseluruh dunia, jadi butuh komitmen" kata Febrio saat memberikan materi di acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2023, di Jakarta, pada Senin (18/9/2023).
Febrio mengatakan, angka tersebut merupakan kebutuhan jangka menengah berdasarkan Laporan Terbaru Ketiga Biennial (BUR-3), untuk memenuhi kontribusi secara nasional (NDC) penurunan emisi, yang tertuang dalam Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan dunia menghadapi perubahan iklim.
Menurut Febrio, sektor yang membutuhkan investasi terbanyak untuk mereduksi karbon yakni sektor energi, dengan modal transisi sebesar 245,99 miliar dolar AS.
"Supaya transisi energi bisa adil dan merata," ujarnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, pada tahun 2022 Indonesia sudah menetapkan peningkatan kontribusi secara nasional (E-NDC) sebesar 43 persen di tahun 2030, yang akan tercapai apabila menggunakan skema pendanaan dengan bantuan internasional.
Sedangkan jika tanpa bantuan internasional, target reduksi emisi menjadi naik, yang sebelumnya 29 persen menjadi 31,89 persen.
Sementara itu menurut dia, segmentasi target penurunan CO2 bila menggunakan skema pendanaan global, yakni 729 gigaton di sektor pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan, 446 gigaton di sektor energi, 43,5 gigaton di sektor limbah, serta 12 gigaton di sektor pertanian.
Lalu, sembilan gigaton di sektor proses dan produksi industri (IPPU), dengan total penurunan emisi sebanyak 1.239 gigaton.
Sedangkan bila menggunakan pendanaan mandiri tanpa bantuan luar negeri, akumulasi jumlah CO2 yang direduksi yakni sebesar 915 gigaton.
"Itu komitmen kita dalam Perjanjian Paris," ujar Febio.
Selain itu menurut Febrio, sejak diterbitkannya sukuk hijau atau "Green sukuk", Indonesia telah berhasil mengumpulkan investasi sebesar 6,54 miliar dolar AS, dan telah mengalokasikan uang tersebut untuk mempercepat transisi energi.
Sebagai informasi, Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris menjadi undang-undang sejak tahun 2016, sehingga hal tersebut mewajibkan Indonesia untuk mereduksi efek rumah kaca.