REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny Kodrat, Pemerhati Pendidikan Universitas Sebelas April
Kekisruhan yang terjadi di Rempang, Batam, beberapa waktu lalu mengakibatkan 20 sampai 25 siswa SD dan SMP terkena gas air mata. Meski upaya trauma healing telah dilakukan oleh Polri dan pihak terkait, kejadian serupa dapat terulang kembali dan menjadi PR besar bagi sekolah dan stakeholders pendidikan dalam memitigasi krisis di satuan pendidikan.
Karena itu, penting untuk menata regulasi dan implementasi pelindungan siswa saat lokasi sekolah berada di tengah lokasi konflik. Dengan kesadaran tidak mencederai hak pendidikan anak, meminjam saran Prof Cecep Darmawan, hak tersebut merupakan salah satu hak paling asasi yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun.
School Wellbeing
Pembelajaran berpihak pada siswa menjadi isu utama dalam kurikulum merdeka. Kesejahteraan siswa (students’ wellbeing) perlu diwujudkan dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. Karena itulah, kampanye anti kekerasan baik dalam masalah perundungan dan seksual masif dilakukan.
Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, menggantikan Permendikbud nomor 82 Tahun 2015, menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam memerangi tindak kekerasan di sekolah. Tentunya, menjadi kontra produktif saat sekolah tidak memiliki mitigasi krisis sebagaimana yang terjadi pada kasus Rempang. Satu sisi guru di sekolah mendidik siswa untuk tidak melakukan tindakan kekerasan, bahkan berupaya melaksanakan pelindungan, namun kekerasan justru hadir secara nyata pada bentrokan fisik antara aparat dan masyarakat.
Pemenuhan kesejahteraan siswa dalam pembelajaran dapat terlihat dari diri siswa sendiri. Senang, bahagia dan memiliki motivasi tinggi dalam belajar. Tidak mengalami rasa takut, malas pergi ke sekolah. Ki Hajar Dewantara, karenanya, menekankan tujuan belajar untuk mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Nyata sekali bila semua faktor yang dapat mengganggu pemenuhan kesejahteraan siswa perlu dihilangkan. Sama halnya dengan siswa, guru pun perlu mendapat pelindungan dalam menjalankan profesinya. Terbebas dari kekerasan, rasa takut dan intimidasi saat melaksanakan pendidikan dan pengajaran. Kesejahteraan guru dan siswa (teacher and student’s wellbeing) muncul saat sekolah mampu menghadirkan kesejahteraan sekolah (school wellbeing).
Manajemen sekolah dan stakeholders pendidikan dituntut menghadirkan kesejahteraan sekolah untuk mencapai tujuan belajar yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara. Konu dan Rimpela (2002) menyebutkan siswa memerlukan suasana kondusif di sekolah untuk pencapaian pengetahuan dan prestasinya. Sehingga, empat aspek menjadi syarat utama terciptanya school wellbeing yaitu
Pertama kondisi sekolah (having). Sekolah yang jauh dari keriuhan, konflik sosial di luar sekolah bahkan kekerasan. Untuk menghadirkan kondisi sekolah yang menunjang pendidikan dan pengajaran, pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung jawab menjaga lingkungan eksternal sekolah.
Kedua, hubungan sosial (loving). Siswa, guru dan tenaga kependidikan dalam menjalankan kegiatan pendidikan dan pengajaran diikat dengan rasa cinta, kasih dan peduli.
Ketiga, sarana pencapaian diri (being). Guru dan tenaga kependidikan berupaya memberikan layanan terbaik untuk pencapaian diri siswa, baik dengan melengkapi fasilitas dan juga peningkatan standar pelayanan.
Keempat status kesehatan (health). Seluruh warga sekolah yang terdiri dari guru, siswa dan tenaga kependidikan sehat lahir dan batin, sehingga mampu melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran tanpa kendala.
Tanggung jawab hadirnya school wellbeing tidak semata-mata dibebankan pada pundak kepala sekolah. Pemerintah justru menjadi aktor paling bertanggung jawab dalam menjaga kelangsungan school wellbeing ini.
Penanganan masalah agraria antara pemerintah dan masyarakat yang tidak mempertimbangkan lingkungan pendidikan, akhirnya berdampak buruk bagi terciptanya school wellbeing. Jika aparat pemerintah dapat lebih menahan diri dan menangani protes masyarakat secara humanis, mengedepankan dialog, bentrok fisik dapat dihindari.
Terlebih lagi, saat akan menghadapi massa, intelijen melakukan asesmen lingkungan sekitar. Penilaian terhadap jumlah dan karakter massa yang menghasilkan rekomendasi terhadap kepala sekolah. Selain itu, aktivitas pembelajaran yang tengah berlangsung di sekolah sudah cukup menjadi alasan untuk mengendalikan massa secara lebih kooperatif, jika terdapat kesadaran dalam diri aparat mengenai konsep school wellbeing ini.
Seandainya pun ada kekhawatiran terjadi bentrok, aparat segera menghubungi pihak sekolah satu hari sebelumnya untuk melaksanakan pembelajaran daring. Dampak yang dihasilkan dari bentrok fisik, terlebih lagi siswa terkena gas air mata, menimbulkan trauma panjang. Siswa menjadi takut pergi ke sekolah.
Sekolah membutuhkan banyak waktu untuk melakukan pemulihan trauma bagi siswanya. Karenanya, school wellbeing ini harus menjadi kesadaran semua pihak untuk menghasilkan lulusan bermutu.