Senin 02 Oct 2023 05:00 WIB

Tiktok Shop Merugikan Atau Memang Daya Beli Lemah?

Media sosial cukup menjadi platform 'pamer' saja.

Suasana pasar tanah abang Blok A, Jakarta, Kamis (28/9/2023). Pasca larangan Tiktok Shop, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengecek langsung pasar Tanah Abang sekaligus mendengarkan keluh kesah para pedagang seputar sepinya pembeli di pasar tersebut imbas gempuran e-commerce maupun social commerce salah satunya TikTok Shop.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana pasar tanah abang Blok A, Jakarta, Kamis (28/9/2023). Pasca larangan Tiktok Shop, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengecek langsung pasar Tanah Abang sekaligus mendengarkan keluh kesah para pedagang seputar sepinya pembeli di pasar tersebut imbas gempuran e-commerce maupun social commerce salah satunya TikTok Shop.

Oleh : Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Kehadiran Tiktok Shop telah membuat dunia usaha kalang kabut. Platform ini tak hanya menjadi tempat pengguna berbagi keseharian, tetapi juga menjadi tempat pembeli mendapatkan barang yang mereka inginkan. Tidak tanggung-tanggung, Tiktok Shop berani menjual barang dengan harga yang lebih murah. Bahkan sangat murah.

Hal inilah yang membuat pelaku usaha, terutama kelas mikro, kecil, dan menengah (UMKM) resah. Pasalnya, mereka harus bersaing dengan penjual yang menawarkan harga jauh di bawah modal. Belum lagi penjual-penjual dari kalangan artis yang ikut meramaikan FYP Tiktok. Makin tenggelamlah UMKM lokal.

Lalu, apakah Tiktok Shop adalah ancaman?

Tiktok hadir awalnya menawarkan cara baru bermedia sosial, yaitu berbagi video singkat dan live streaming. Kemudian, cara ini dimanfaatkan oleh sejumlah pelaku usaha untuk menggaet pembeli, yang kemudian sedikit mengubah gaya berbelanja masyarakat.

Lama-kelamaan, Tiktok menyediakan kemudahan bagi pembeli dengan mengubah diri dari media sosial menjadi social commerce, yaitu merangkap e-commerce. Dengan kucuran subsidi, Tiktok menawarkan produk dengan harga yang murah dan gratis ongkos kirim.

Melihat gaya belanja masyarakat Indonesia saat ini, harga adalah yang utama. Masyarakat akan mencari barang semurah mungkin, tidak peduli siapa penjualnya dan bagaimana kualitasnya. Yang penting murah aja dulu.

Tiktok memahami keinginan masyarakat tersebut dan merealisasikannya melalui subsidi kepada seller alias penjual. Namun, seiring dengan bertambahnya penjual, akhirnya tidak semua mendapatkan subsidi, sehingga penjual yang baru masuk Tiktok ini akhirnya struggling untuk berjualan. Mereka akan kalah dengan yang menawarkan produk murah.

Ini diperparah dengan perubahan pola belanja masyarakat. Dengan harga murah, ongkos kirim gratis, bisa bayar belakangan pula (pakai paylater), masyarakat kini lebih banyak belanja di e-commerce. Tinggal klik, cuma rebahan, barang yang diinginkan datang sendiri.

Pada akhirnya, pelaku usaha banyak yang bertumbangan karena masyarakat tidak lagi berbelanja langsung. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit sekali. Ini bisa kita buktikan di pusat perbelanjaan. Berapa banyak orang yang datang dan melihat-lihat barang, kemudian membelinya? Bisa dihitung jari.

Menanggapi keserahan ini, pemerintah akhirnya meneken Revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Aturan itu melarang Tiktok melakukan transaksi jual-beli produk selayaknya e-commerce dan hanya boleh sebagai media promosi.

Pemerintah juga akan melarang media sosial merangkap sebagai e-commerce. Hal tersebut dilakukan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan data masyarakat.

Aturan ini mendapat berbagai macam respons dari masyarakat. Ada yang mendukung, ada pula yang mengecam. Dukungan ini datang dari mereka yang terancam keberadaannya karena kehadiran Tiktok Shop. Mereka yang mengecam adalah yang merasa kehadiran Tiktok Shop ini justru membantu meningkatkan penjualan.

Revisi Permendag 50/2020 ini adalah langkah awal yang baik untuk mengatur lebih ketat lagi perdagangan online. Media sosial cukup menjadi platform 'pamer' saja. Kalau mau jualan, bikinlah izin jualan. Jangan hidup di dua alam.

Tetapi, yang lebih penting harus diatur adalah bagaimana agar sesama pelaku usaha dapat bersaing secara sehat dan menawarkan harga dengan wajar. Pemerintah perlu mengatur batasan agar tidak terjadi predatory pricing yang merugikan banyak pihak, baik itu pembeli maupun penjual.

Terkait sepinya pertokoan, bisa jadi karena memang daya beli masyarakat yang lebih rendah. Masyarakat lebih banyak melakukan saving ketimbang spending. Atau langsung berbelanja ke produsen yang memanfaatkan platform online.

Ini juga menjadi poin penting bagi kita, kan? Memangkas rantai pasok agar harga lebih murah. Produsen go digital sehingga dia bisa memasarkan sendiri produknya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement