Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
‘’Waspadalah kepada kaum sarungan!” Mungkin generasi masa ‘Z’ tak kenal frase inii. Tapi seruan mewaspadai kepada persatuan dan kebangkitan ‘kaum sarungan’ itu terjadi pada dekade paruh awal 1960-an hingga jelang tragedi peristiwa G 30 S PKI. Pada waktu itu aktvisi politik dari salah satu elite PNI Jawa Tengah, Hadi Subeno, yang mempelopori ujaran itu.
Lalu apa yang dimaksudkan wapada dengan kaum yang disebut sarungan? Jawabnya, pada era 60-an tu jelas yang dimaksudkan adalah kaum Muslim Indonesia. Ini karena kaum Muslimlah yang terbiasa memakai kain itu yang di Mynmar di sebut ‘Longyi’. Bahkan DN Aidit sebut menyebut kata itu kepada generasi muda yang menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Aidit kala itu berpidato dalam pertemuan di Senayan mengatakan kalau kalian tidak dapat membubarkan HMI, maka lebih baik pakai sarung saja! Pernyataan ini menandakan bahwa menurutnya ‘sarung’ identik dengan kaum tidak jantan (lemah), bahkan secara pejoratif sebutan disematkan kepada kaum perempuan.
Meski ada sebutan untuk waspada kepada kaum sarungn dan melucuti kaum sarungan, tapi Bung Karno menolak membubarkan kaum yang dituntut untuk dibubarkan kala itu. Kalau dalam soal HMI Bung Karno misalnya, atas nasihat menteri agama Syaifudin Zuhri menolak membubarkannya.
Setelah itu, harus diakui meski kemudian masa Orde Lama berganti ke masa Orde Baru, nasib kaum sarungan belum banyak berubah. Secara ekonomi masih terus tersuruk. Namun, perlahan-lahan mulai berangsur berubah pada tahun 1980-an. Perubahan nasib dari gemobang klaum sarungan dipotret oleh mendiang cendikiawan DR Nurcolish Madjid. Dia mengatakan saat itu pendidikan para santri (kaum sarungan) mulai membaik. Semua ini berkah kemerdekaan.