REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai bentuk komitmen iklim, ada banyak negara yang mengumumkan tujuan Net Zero mereka. Namun para peneliti memperingatkan bahwa di balik strategi net zero terdapat kesalahpahaman, dimana gagasan untuk penghapusan emisi (carbon removal) emisi satu per satu bertentangan dengan sifat alamiah sistem bumi.
Dalam sebuah makalah yang ditulis oleh peneliti dari lembaga penelitian iklim yang berbasis di Berlin, MCC (Mercator Institute on Global Commons and Climate Change), mereka menyelidiki apa yang dimaksud dengan kesepakatan net zero yang tampaknya seimbang dengan atmosfer ini terhadap suhu Bumi.
“Jika kebijakan iklim tidak menetapkan sasarannya pada absolute zero, tetapi hanya pada net zero dengan pandangan tentang apa yang dapat dilakukan, maka kebijakan tersebut juga harus mempertimbangkan sistem bumi,” kata salah satu peneliti, Sabine Fuss, seperti dilansir Phys, Kamis (7/12/2023).
Ia kemudian mengidentifikasi empat alasan mengapa konsekuensi dari emisi dan penghapusan emisi tidak selalu setara satu sama lain. Pertama, emisi dan penghapusan memiliki keabadian yang berbeda. Sementara CO2 yang diemisikan memanaskan planet ini selama berabad-abad, CO2 yang diserap dan disimpan di hutan atau ekosistem pesisir, misalnya, akan dilepaskan kembali dengan lebih cepat. Perubahan iklim juga berkontribusi dalam hal ini, melalui kekeringan, suhu panas, serta gelombang panas di laut. Karenanya, net zero dalam emisi dan penghapusan masih merupakan konsekuensi bagi planet ini.
Kedua, sejumlah metode penghapusan juga memiliki efek biofisik, karena metode ini mengubah vegetasi dan struktur permukaan, dan dengan demikian reflektifitas planet ini. Penghijauan skala besar atau penambahan biochar ke ladang, misalnya, menghilangkan CO2 dari atmosfer, tetapi secara bersamaan mengurangi penyerapan radiasi matahari, yang berkontribusi pada pemanasan tambahan yang terbatas secara lokal.
Di sisi lain, opsi penghapusan karbon, seperti pengangkatan air laut dalam secara artifisial dengan menggunakan pompa besar, atau penanaman biomassa yang tumbuh cepat di perkebunan iklim, memiliki efek pendinginan secara lokal.
Ketiga, baik emisi maupun penghapusan CO2 dapat memiliki dampak penting bagi keseimbangan gas rumah kaca lainnya, seperti metana dan dinitrogen oksida. Selain itu, ekstraksi dan pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan gas lain seperti sulfur dioksida; ini adalah prekursor aerosol sulfat, yang juga berdampak pada iklim. Bahkan penangkapan udara langsung melalui sistem filter dapat menyebabkan emisi sebagai efek samping dari kebutuhan energinya. Hasil yang tepat dari net-zero CO2 untuk keseimbangan emisi non-CO2 bergantung pada banyak detail, termasuk pilihan spesies pohon untuk penghijauan.
Keempat, respons iklim terhadap siklus karbon tidak simetris karena berbagai alasan. Sebagai contoh, terutama karena lambatnya skala waktu respons laut dalam, peningkatan suhu yang disebabkan oleh emisi tidak segera dinetralisir ketika emisi tersebut dihilangkan beberapa tahun kemudian.
Selain itu, pembuangan emisi memiliki efek yang lebih kecil pada konsentrasi CO2 di atmosfer yang lebih tinggi, yaitu ketika sistem iklim sudah berada pada tahap yang berbeda. Beberapa dari efek ini juga bersifat non-linear: pohon tumbuh sedikit lebih cepat ketika ada lebih banyak CO2 di udara dan oleh karena itu berkontribusi lebih besar terhadap penyerapan, tetapi efek ini berkurang dengan meningkatnya konsentrasi CO2.
"Bagaimana strategi net zero mempengaruhi iklim tergantung pada desainnya dan perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan model sistem bumi yang lebih canggih. Ketidakpastian yang ada tidak mungkin dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tersedia untuk merancang dan menerapkan kebijakan iklim yang konsisten dengan Perjanjian Paris. Oleh karena itu, penghapusan harus dilakukan dengan hati-hati. Prioritasnya haruslah mendorong emisi dengan cepat menuju zero,” kata kata peneliti MCC.