Jumat 21 Jun 2024 12:00 WIB

Desa Konvervasi, Antara Keindahan Alam dan Kemiskinan

Akses masyarakat pesisir terhadap pelayanan dasar masih terbatas.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Foto udara danau air asin kawasan hutan mangrove di Gili Meno, Desa Gili Indah, Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Senin (23/10/2023).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Foto udara danau air asin kawasan hutan mangrove di Gili Meno, Desa Gili Indah, Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Senin (23/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga penelitian SMERU menemukan tingkat kemiskinan dan ketimpangan di desa dekat kawasan konservasi lebih tinggi dibandingkan desa non-konservasi. Peneliti SMERU Annabel Noor Asyah menjelaskan, desa kawasan konservasi merupakan desa yang berjarak dua kilometer dari daerah konservasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di zona inti kawasan konservasi di Laut Sawu, Nusa Penida, dan Minahasa Utara, mata pencarian sebagian besar masyarakat desa konservasi adalah penangkap ikan. "Ada sekitar 2.000 desa konservasi dari 80 ribu desa yang ada di Indonesia," kata Annabel dalam seminar Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Perairan Indonesia, beberapa hari lalu.

Baca Juga

Annabel mengatakan, dari 2010 sampai 2015, tingkat kemiskinan di desa konservasi maupun non-konservasi mengalami penurunan. Tapi SMERU menemukan penurunan tingkat kemiskinan di desa konservasi lebih kecil dibandingkan desa-desa non-konservasi.

"Begitu pula ketika kami melakukan analisa indeks gini untuk melihat kondisi ketimpangan di sana, terjadi peningkatan ketimpangan antara desa konservasi dan non-konservasi, namun ketimpangan desa konservasi lebih tinggi dibanding desa non-konservasi," kata Annabel.