Jumat 04 Oct 2024 10:52 WIB

Indonesia Berbagi Pengetahuan Implementasi REDD+

Negara-negara dengan hutan tropis masih memerlukan akses terhadap pendanaan iklim.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Panorama tutupan hutan Gunung Kerinci (3805 mdpl) yang sebagian kawasannya telah beralih fungsi menjadi perkebunan terlihat dari Kayu Aro, Kerinci, Jambi, Sabtu (1/8/2020).
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Panorama tutupan hutan Gunung Kerinci (3805 mdpl) yang sebagian kawasannya telah beralih fungsi menjadi perkebunan terlihat dari Kayu Aro, Kerinci, Jambi, Sabtu (1/8/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Indonesia berbagi pengetahuan mengenai implementasi program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD+) dengan Negara-Negara Selatan.

Negara Selatan atau Global South istilah yang digunakan untuk merujuk kelompok negara-negara yang secara historis mengalami kolonialisme, neokolonialisme, dan ketidaksetaraan ekonomi dibandingkan dengan negara-negara di belahan bumi utara yang sering disebut sebagai "Global North".

Indonesia menjadi tuan rumah Pertukaran Negara Selatan atau South-South Exchange 2024 (SSE 2024) di Balikpapan, Kalimantan Timur. Acara yang berlangsung dari 30 September ini mempertemukan delegasi dari berbagai negara, termasuk Brazil, Ekuador, Indonesia, Kamboja, Kosta Rika, dan Republik Demokratik Kongo.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Joko Tri Haryanto mengatakan sebagai lembaga pemerintah yang mengelola dana REDD+ serta dana lingkungan secara umum, BPDLH mengajak peserta South-South Exchange untuk dapat berbagi cerita tentang pengalaman, tantangan serta peluang dalam mengakses dan mengelola dana REDD+ RBP.

"Peluang akses dana REDD+ RBP dapat menjadi pendanaan utama untuk mencapai NDC (target pemangkasan emisi yang ditentukan negara) di sektor FOLU," kata Joko dalam pernyataannya Badan Pembangunan PBB (UNDP) Indonesia, Kamis (3/10/2024).

Joko menambahkan negara-negara dengan hutan tropis masih memerlukan akses terhadap pendanaan iklim dalam jumlah yang lebih besar untuk mencapai target NDC. "Pengelolaan pendanaan REDD+ RBP ini memerlukan instrumen/skema yang lebih fleksibel untuk mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan programnya," tambah Joko.

Dalam pernyataannya, UNDP mengatakan SSE 2024 bertujuan menciptakan peluang kemitraan dalam mempercepat aksi iklim global demi mengurangi khususnya dari sektor kehutanan (Forest and Other Land Use atau FOLU) di negara Selatan. 

UNDP menambahkan SSE 2024 memberikan wadah bagi negara-negara peserta untuk bertukar wawasan, berbagi pengalaman dan memperkuat kerja sama dalam pengelolaan REDD+ dengan pendanaan Pembayaran Berbasis Hasil (Results-Based Payments/RBP) di bawah skema Green Climate Fund (GCF) serta skema pendanaan iklim lainnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan Indonesia sudah menunjukkan keberhasilan implementasi REDD+ yang meliputi dua proyek di Tingkat Nasional dan dua proyek Sub-Nasional. Indonesia berhasil memperoleh insentif program REDD+ RBP dengan memperoleh pendanaan sebesar lebih dari 1 juta dolar AS dari Green Climate Fund (GCF) pada tahun 2014 sampai dengan 2016.

Indonesia juga menggelar dua proyek FCPF Carbon Fund di Provinsi Kalimantan Timur dengan target pengurangan emisi 22 juta tCO2e (2019-2024) senilai 110 juta dolar AS. BioCF-ISFL di Provinsi Jambi dengan target pengurangan emisi sebesar 14 juta tCO2e (2020-2025) senilai 70 juta dolar AS.  

Sebagai salah satu pelopor dalam inisiatif REDD+, Indonesia juga telah menunjukkan keseriusannya dalam melakukan pengelolaan hutan berkelanjutan. Pada tahun 2007, Indonesia menjadi tuan rumah dan memfasilitasi negosiasi pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties ke-13 di Bali.

Melalui pertemuan ini, Indonesia memainkan peran penting karena untuk pertama kalinya konsep REDD+ dikembangkan untuk mencakup pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan karbon stok hutan, serta mendorong adanya insentif pendanaan bagi negara-negara yang berhasil menunjukkan kinerja pengurangan emisinya.

Manfaat dari insentif yang didapatkan Indonesia diperuntukkan mendukung kembali implementasi REDD+ dengan mengacu pada Strategi Nasional (STRANAS) REDD+. Program REDD+ yang dituangkan dalam STRANAS tersebut akan dihitung kontribusinya terhadap capaian target NDC yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019–2024.

Penguatan kapasitas arsitektur REDD+ dan pendukungnya dilakukan melalui pematangan elemen arsitektur REDD+ nasional, antara lain, penyesuaian STRANAS REDD+ dengan target NDC, Acuan Tingkat Emisi di Sektor Kehutanan (Forest Reference Emission Level atau FREL) yang dijadikan acuan tingkat emisi sub nasional, Kerangka Pengaman REDD+ (Safeguard Information System REDD+), kebijakan pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (Monitoring, Reporting, and Verification atau MRV), Sistem Registri Nasional (SRN), serta kebijakan carbon pricing.

Di samping penguatan nasional, arsitektur REDD+ di tingkat daerah juga didukung penerapannya dengan pengukuran FREL provinsi, dan pembuatan SIS-REDD+ dan MRV provinsi.

Melalui kegiatan SSE 2024, Negara partisipan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman komprehensif tentang implementasi REDD+ dan pengelolaan dana insentif REDD+ RBP terintegrasi agar dapat memberikan manfaat berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi pada pengurangan emisi.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement