Jumat 11 Oct 2024 19:59 WIB

Program Work From Anywhere Pramono Anung Dinilai Strategis Dilaksanakan di Jakarta

Jakarta yang masih macet membuat work from everywhere sangat mungkin diterapkan.

Pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut tiga Pramono Anung (kiri) dan Rano Karno (kanan) menyampaikan visi misi pada debat pertama pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2024 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Ahad (6/10/2024). Debat perdana tersebut mengangkat tema penguatan SDM dan transformasi Jakarta menjadi Kota Global.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut tiga Pramono Anung (kiri) dan Rano Karno (kanan) menyampaikan visi misi pada debat pertama pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2024 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Ahad (6/10/2024). Debat perdana tersebut mengangkat tema penguatan SDM dan transformasi Jakarta menjadi Kota Global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon gubernur DKI Jakarta nomor urut 3 Pramono Anung memiliki visi bekerja di Jakarta, bisa fleksibel dalam bekerja, mengusung konsep work from anywhere (WFA), termasuk untuk para birokrat dan swasta. Bahkan, ide itu pun akan diterapkan untuk generasi Z di Jakarta. Ide itu dilakukan untuk menjadikan warga Jakarta produktif. Dan, banyak kajian, dengan konsep bekerja seperti itu, karyawan tetap profesional produktif.

Selain itu, Pramono menerapkan ide pembagian hari kerja. Yakni, dua hari bekerja di kantor dan tiga hari bekerja di rumah. "Sederhana, bagaimana generazi Z bisa bekerja dari mana pun," kata Pramono.

Pemerintah juga telah mulai mendorong digitalisasi sebagai bagian dari transformasi ekonomi. Melalui program "Smart City Jakarta", Pemprov DKI Jakarta berencana meningkatkan akses dan kualitas infrastruktur digital untuk mendukung aktivitas ekonomi yang lebih efisien, termasuk penerapan WFA.

Sebagai informasi, selama pandemi Covid-19, WFA telah diterapkan secara luas di Jakarta. Banyak perusahaan yang sebelumnya skeptis terhadap konsep ini akhirnya menyadari bahwa karyawan tetap dapat bekerja secara efektif tanpa harus hadir secara fisik di kantor. Pada 2020, sekitar 34% dari pekerja di Jakarta beralih ke sistem kerja jarak jauh.  

Survei dari perusahaan pengembangan karier Jobstreet, Boston Consulting Group, dan The Network menunjukkan, 68 persen responden menginginkan pola kombinasi melakukan pekerjaan di rumah (work from home/WFH) dan di kantor (work from office/WFO). Sementara itu, 23 persen lainnya menginginkan sepenuhnya kerja jarak jauh alias tidak perlu ke kantor. Sisanya, hanya sekitar 9 persen, menginginkan sepenuhnya kerja di kantor seperti halnya sebelum pandemi Covid-19.

Sementara Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga menyebut penerapan WFA diharapkan akan memiliki dampak positif berupa meningkatnya kinerja dan kepuasan pegawai dalam bekerja dan meningkatnya efektivitas dan efisiensi birokrasi pemerintahan.  

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menilai, gagasan work from everywhere yang disampaikan Pramono, di tengah masih tingginya angka kemacetan di Jakarta, sangat mungkin diterapkan.

Bahkan, menurut dia, sudah banyak kantor swasta menerapkan hal tersebut. Biasanya, durasi kerja selama dua tiga hari di kantor, sisanya bisa di rumah atau di mana saja.

Jika diterapkan, kebijakan ini akan mempunyai dampak multiplier effect yang kuat. Pertama, mengurangi kepadatan penghuni Jakarta di jam sibuk.

"Kedua, duit tak terus berputar di Jakarta karena jajan bekerja tetap berada di tempat dia tinggal. Ketiga, transportasi di Jakarta bisa lebih lebih longgar," kata dia.

Djoko menyebut, penerapan konsep WFA semakin relevan. Apalagi Jakarta, sebagai pusat ekonomi terbesar di Indonesia, telah menghadapi berbagai tantangan dalam hal mobilitas. "Kemacetan yang tak kunjung terselesaikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat stres pekerja di kota ini," ucap Djoko.

Menurut laporan TomTom Traffic Index 2023, Jakarta menempati peringkat ke-29 kota termacet di dunia, dengan waktu tempuh rata-rata yang meningkat hingga 46% pada jam-jam sibuk. "Setiap jam yang dihabiskan dalam kemacetan adalah jam produktif yang terbuang. Sebenarnya kalau swasta di Jakarta itu sudah dilaksanakan banyak yang sudah masuk kerja dua tiga hari, sudah berjalan, tapi tidak bisa semua pekerjaan. Misal untuk ASN yang pelayanan, mungkin tetap harus ke kantor," ucap Djoko, saat dihubungi, Jumat (11/10).

 

Sektor-sektor tertentu, terutama yang membutuhkan interaksi langsung atau pekerjaan manual seperti produksi makanan, tentu tidak bisa menerapkan WFA secara optimal. "Tidak semua pekerjaan bisa dijalankan dari jarak jauh, seperti pekerja yang membuat tempe atau sektor manufaktur lainnya," ungkap Djoko.

Menurutnya, hanya sektor-sektor profesional seperti teknologi, keuangan, dan jasa yang dapat memanfaatkan fleksibilitas WFA. ASN pun memiliki peluang WFA jika dari sisi mental birokrasinya semakin bagus.

Menurut Djoko penerapan WFA bisa mengurangi beban lalu lintas, tapi tidak cukup signifikan untuk mengatasi akar masalah kemacetan di Jakarta. Hal ini dikarenakan ketersediaan transportasi publik di Jakarta sebenarnya sudah cukup baik. Jakarta telah mencapai 85% cakupan transportasi umum dengan halte bus atau angkot yang tersebar di hampir seluruh area kota, jalan kaki kurang dari 500 meter di Jakarta, pasti sudah ada halte atau angkutan umum.  

Jakarta, sebagai kota metropolitan, memiliki potensi besar untuk mendukung WFA secara lebih luas. Tetapi, untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif, mulai dari kebijakan transportasi yang lebih ramah pejalan kaki hingga reformasi birokrasi yang lebih transparan dan efisien.

"Dengan bekerja dari rumah, tekanan dari perjalanan berkurang, sehingga pekerja bisa lebih fokus pada tugas-tugas mereka," Djoko.

Sejatinya,konsep WFA memberikan fleksibilitas yang sangat diinginkan oleh para pekerja. Kemacetan yang parah tidak hanya menyebabkan kelelahan fisik tetapi juga meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Menurut laporan dari WHO, pekerja yang terpapar kemacetan panjang berisiko lebih tinggi terkena stres kronis.  Dengan WFA, tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup pekerja.  

Selain itu, dengan adanya WFA, perusahaan dapat merekrut talenta dari luar Jakarta, tanpa terbatas oleh lokasi geografis. Hal ini dinilai memberikan kesempatan yang lebih luas bagi perusahaan untuk mendapatkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas.

Talenta terbaik tidak lagi harus pindah ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan besar. Mereka bisa bekerja dari mana saja, dan ini akan memperkuat daya saing perusahaan.  

Di sisi lain, perusahaan perlu mempertimbangkan aspek kesejahteraan karyawan dalam penerapan WFA. Pelatihan keterampilan digital dan manajemen waktu juga menjadi hal penting. Menurut laporan dari McKinsey, perusahaan yang sukses menerapkan WFA adalah perusahaan yang mampu membangun budaya kerja yang mendukung kolaborasi jarak jauh dan memastikan bahwa karyawan memiliki alat yang tepat untuk bekerja dengan efisien.

Penerapan WFA di Jakarta, kata Djoko, memang bukan tanpa tantangan, tetapi manfaat yang ditawarkan cukup signifikan. Di tengah kemacetan yang tak kunjung usai dan beban stres yang meningkat, WFA bisa menjadi jawaban bagi pekerja Jakarta untuk tetap produktif dan sehat secara mental.

"Jakarta dengan dukungan internet, akses transportsi, dan sudah banyak perusahaan menerapkan, tentu bisa dilakukan namun dengan pendekatan tak semua tipe pekerjaan," tutup Djoko.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement