Oleh: Buya Anwar Abbas*)
Publik tentunya menanti-nanti langkah riil Presiden Prabowo Subianto untuk ekonomi Indonesia. Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, sudah mengungkapkan bahwa kakaknya memiliki ambisi untuk menjalankan program ekonomi dari orang tuanya, Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo.
Sosok yang berjulukan "begawan ekonomi Indonesia" itu pada masanya berhaluan sosialis. Apakah ini bertentangan dengan sistem ekonomi konstitusi Indonesia?
Menurut proklamator RI, Mohammad Hatta, sistem ekonomi Indonesia memang bukan ekonomi liberalisme-kapitalisme dan bukan pula sosialisme-marxisme. Sistem ekonomi kita, menurut Bung Hatta, adalah sosialisme versi indonesia.
Seperti apakah sistem ekonomi sosialisme versi indonesia itu? Guru besar ekonomi Universitas Indonesia yang juga menantu Bung Hatta, Prof Sri Edy Swasono menyebutnya dengan istilah sosialisme religius. Adapun Prof Mubyarto dari Universitas Gadjah mada menyebutnya dengan sistem ekonomi Pancasila, yaitu sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa serta keempat sila berikutnya.
Di sinilah, mungkin perlu ada dialog di antara kita agar sistem ekonomi berhaluan sosialis yang disampaikan Prof Soemitro Djojohadikoesoemo tidak berbenturan dengan ketentuan yang ada dalam Konstitusi, apalagi dalam Pasal 29 Ayat 1 dari UUD 1945.
Dalam pasal tersebut, dikatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menuntut setiap kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi tidak boleh ada yang bertentangan dengan nilai-nilai dari ajaran agama.
Dengan demikian, wajah ekonomi kita jelas tidak sama dengan wajah dari sistem ekonomi sosialis yang ada di Barat yang sekuler. Sistem ekonomi sosialisme kita adalah religius. Bila kita berbicara tentang konsep baik dan buruk, serta benar dan salah, dalam kehidupan ekonomi, maka tidak hanya didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasio semata.
Rasio tersebut haruslah dicerahkan dan disinari dengan nilai-nilai dari ajaran agama dan dengan keempat sila lainnya dalam Pancasila. Sebab, yang kita cari dalam kehidupan ekonomi ini tidak hanya menyangkut kesejahteraan lahir dari rakyat, tetapi juga kesejahteraan batin mereka. Tidak hanya harta, tetapi juga berkah Tuhan. Tidak hanya mencari kesuksesan dan keselamatan di dunia ini, tetapi juga di akhirat kelak.
Jika Presiden Prabowo bisa menjadikan substansi konsep ekonomi papi-nya seperti itu, maka tentu tidak ada masalah. Sebab, memang begitulah ekonomi negara harus dikelola.
Jadi, bukan seperti kondisi yang kita lihat hari-hari ini yang sangat kental warna liberalisme dan kapitalismenya. Akibatnya, jumlah orang miskin masih sangat banyak serta kesenjangan sosial-ekonomi di negeri ini tampak tumbuh dan berkembang semakin tajam.
Jika kita tidak ingin negeri ini bermasalah ke depan lantaran adanya pertentangan antara kelompok miskin dan kaya--serta antara penduduk asli dan penduduk non-asli--maka cara yang ditempuh Prof Soemitro lewat Gerakan Benteng-nya masih sangat relevan untuk dihidupkan kembali.
Itu melalui adanya affirmative action dari pihak pemerintah untuk membela dan mengangkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lapis bawah ke lapis tengah dan atas. Harapannya, potret bangunan ekonomi nasional kita tidak lagi bak piramida, tetapi berubah menjadi seperti belah-ketupat.
Pada gilirannya, bentuk tersebut nanti juga akan berubah seperti bola, di mana kelompok usaha mikro dan ultra-mikro sudah tidak ada. Yang ada hanyalah kelompok usaha besar, menengah, dan kecil. Perilaku berekonomi mereka pun diharapkan akan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, bukan sebaliknya.
*) Dr H Anwar Abbas MM MAg atau yang akrab disapa Buya Anwar Abbas merupakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dosen tetap Prodi Perbankan Syariah FEB UIN Syarif Hidayatullah ini juga adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup.