Rabu 27 Nov 2024 19:23 WIB

Ketidakpuasan Membayangi Hasil COP29

Kekurangan transparansi dan inklusivitas dalam proses negosiasi juga menjadi sorotan.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Anggota delegasi berada di area pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim (COP29) di Baku, Azerbaijan, Ahad (10/11/2024).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Anggota delegasi berada di area pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim (COP29) di Baku, Azerbaijan, Ahad (10/11/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Konferensi Perubahan Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, berakhir dengan kesepakatan yang cepat dan penuh kontroversi. Kesepakatan COP29 juga menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi negara-negara berkembang.

Meskipun diharapkan menjadi "COP keuangan," pertemuan ini justru menghadapi penolakan dari banyak negara yang merasa bahwa kesepakatan yang dicapai tidak mencukupi untuk mengatasi krisis iklim yang semakin mendesak.

Baca Juga

Kesepakatan yang dihasilkan menetapkan bahwa negara-negara industri akan memberikan 300 miliar dolar  per tahun pada tahun 2035 untuk mendukung negara-negara berkembang. Namun, banyak pemimpin dari negara-negara global selatan, termasuk India, Nigeria, dan Bolivia, menganggap jumlah tersebut terlalu sedikit.

Mereka menekankan bahwa untuk mendanai transisi hijau dan menjaga kenaikan suhu sesuai dengan Perjanjian Paris, negara-negara berkembang, kecuali Cina, memerlukan sekitar 1,3 triliun dolar AS per tahun.

Kritik terhadap kesepakatan ini semakin tajam, dengan banyak negara berkembang merasa mereka dipaksa untuk menerima kesepakatan yang tidak adil. Mereka mengeklaim negara-negara kaya, yang bertanggung jawab atas krisis iklim, menggunakan taktik tekanan untuk memaksakan kesepakatan yang tidak menguntungkan bagi negara-negara paling rentan.

“Tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius berada di Unit Gawat Darurat. Rasanya seperti tempat tidur yang baru saja rusak, tingkat pendanaan yang sangat rendah ini, artinya kematian dan kesengsaraan bagi negara kami,” kata utusan iklim Panama Juan Carlos Monterrey seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (26/11/2024).

Dalam konteks ini, laporan tentang perubahan teks kesepakatan di menit-menit terakhir dan lobi oleh kepentingan bahan bakar fosil semakin memperkuat kecurigaan tersebut.

Meskipun COP29 diadakan dalam kondisi yang sulit, termasuk persiapan yang buruk dari tuan rumah Azerbaijan, beberapa negara maju, seperti Inggris, menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap kepemimpinan iklim global. Namun, banyak negara lain tetap tidak dapat meningkatkan kontribusi mereka secara signifikan.

Kekurangan transparansi dan inklusivitas dalam proses negosiasi juga menjadi sorotan, mengancam legitimasi kesepakatan yang dicapai. Banyak negara kecil berjanji untuk mengangkat isu-isu yang belum terselesaikan, terutama terkait pendanaan transisi dari bahan bakar fosil, pada COP30 yang akan datang di Brasil.

Meskipun ada kesepakatan di Baku, tantangan besar tetap ada. Negara-negara industri di utara global telah lama sangat lambat dalam memenuhi komitmen mereka, dan memastikan bahwa emisi gas rumah kaca mencapai puncaknya sebelum 2025 untuk memenuhi target 1,5 derajat Celsius kini tampak semakin sulit.

Bahkan, jika negara-negara mematuhi janji mereka untuk mengurangi emisi domestik, PBB memperingatkan bahwa planet ini masih berada di jalur untuk mengalami kenaikan suhu sebesar 2,7 derajat Celsius, yang akan membawa kekacauan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya.

COP30 di Brasil diharapkan menghasilkan kesepakatan yang lebih adil. Kesepakatan yang dicapai di COP29 mungkin hanya langkah kecil, tetapi penting untuk memastikan suara negara-negara berkembang tetap didengar dan diakui dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement