Rabu 11 Dec 2024 16:53 WIB

Kelompok Politik Terbesar Uni Eropa Perlemah Kebijakan Dekarbonisasi  

Sektor otomotif Eropa sedang dalam gejolak.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Sejumlah mobil terparkir di pabrik Skada Auto di Mlada Boleslav, Ceko, 18 Maret 2020.
Foto: REUTERS/David W Cerny
Sejumlah mobil terparkir di pabrik Skada Auto di Mlada Boleslav, Ceko, 18 Maret 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Kelompok politik terbesar di Parlemen Eropa berupaya memperlemah kebijakan Uni Eropa dalam memangkas emisi karbon dioksida dari mobil. Hal ini terlihat dalam rancangan dokumen posisi kelompok tersebut di Parlemen.

Tuntutan dari Partai Rakyat Eropa (EPP) yang dipublikasikan Rabu (11/12/2024) akan menambah tekanan pada Uni Eropa. Produsen dan pemerintah nasional Eropa sudah menekan blok itu untuk membantu sektor otomotif Eropa yang sedang kesulitan.

Baca Juga

EPP menyatakan rencana Uni Eropa melarang penjualan mobil combustion engine atau mesin pembakaran "harus dibatalkan" agar mobil-mobil yang menggunakan bahan bakar bio seperti bioetanol, biodiesel dan biogas dapat terus dijual setelah tahun 2035.

EPP juga mendesak undang-undang yang menetapkan kebijakan tersebut diubah untuk mendukung mobil hibrida colok, yang menggunakan baterai listrik dan mesin pembakaran. Mereka meminta Uni Eropa meninjau kembali kebijakan itu.

Sektor otomotif Eropa sedang dalam gejolak, ribuan orang diperkirakan akan kehilangan pekerjaan. Masalah ini dipicu persaingan dari produsen mobil Cina dan rendahnya permintaan mobil listrik dibanding prakiraan sebelumnya.

EPP memiliki pengaruh politik yang signifikan, dengan mayoritas dari 27 anggota Komisi Eropa yang baru juga berasal dari kalangannya, termasuk Presiden Ursula von der Leyen. Dalam rancangan dokumen posisinya EPP juga mengatakan produsen mobil harus dilindungi dari dampak peraturan batas emisi CO2 yang mulai berlaku tahun depan.

Mulai 2025 rata-rata emisi CO2 untuk mobil baru yang dijual di Uni Eropa akan diturunkan dari 116 gram per kilometer menjadi 95 gram per kilometer. Jika produsen mobil tidak dapat memenuhi target emisi ini, mereka akan dikenakan denda sebesar 95 euro untuk setiap gram CO2 yang melebihi batas, dikalikan dengan jumlah kendaraan yang terjual.

Presiden Asosiasi Produsen Mobil Eropa (ACEA) Luca de Meo mengatakan kebijakan ini dapat membuat industri otomotif Eropa didenda hingga 15 miliar euro. CEO Renault itu mengatakan denda akan mengalihkan uang investasi.

"Serangkaian peraturan tersebut tidak menyediakan kondisi yang dibutuhkan pasar, infrastruktur pengisian baterai, skema insentif yang stabil, penetapan harga energi dan lain-lain," katanya.  

De Meo mengatakan peraturan batas CO2 2025 merupakan masalah yang mendesak. Sementara masih ada 10 tahun untuk mencari solusi kebijakan mobil mesin pembakaran yang berlaku tahun 2035. EPP mendesak peraturan pembatasan CO2 2025 ditunda hingga 2027 atau diperlunak agar produsen mobil Eropa dapat memenuhinya.

Sejauh ini Brussels menolak desakan ini. Pada September lalu Kepala Bidang Iklim Uni Eropa Wopke Hoekstra mengatakan peraturan tersebut menyediakan lingkungan investasi yang dapat diprediksi dan banyak perusahaan yang sudah memberitahu Uni Eropa mereka berada dalam jalur yang tepat untuk memenuhi target tersebut.

Sejak saat itu, masalah di sektor otomotif Eropa semakin parah. Volkswagen mengumumkan rencana untuk menutup pabrik-pabrik di Jerman dan para produsen mobil kini bersiap menghadapi kemungkinan gelombang tarif di bawah pemerintahan Presiden AS, Donald Trump yang akan datang.

Akhir-akhir ini EPP berhasil mempengaruhi sejumlah kebijakan lingkungan Eropa. Bulan lalu, Uni Eropa menunda undang-undang anti-deforestasi selama satu tahun, setelah mendapat penolakan dari EPP, industri, dan pemerintah di luar blok termasuk Brasil dan AS.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement