Selasa 24 Dec 2024 10:04 WIB

Menghidupkan Keindonesian yang Harmonis: Tanggapan atas Menag Nasaruddin Umar

Indonesia adalah milik bersama, bukan milik satu agama, suku, atau budaya tertentu.

Dua Pekerja proyek berangkat sholat Jumat di sebuah basement bangunan di Pantai Indah Kapuk (PIK) 1, Jumat (20/12/2024). Foto ilustrasi
Foto: Republika/Muhyiddin
Dua Pekerja proyek berangkat sholat Jumat di sebuah basement bangunan di Pantai Indah Kapuk (PIK) 1, Jumat (20/12/2024). Foto ilustrasi

Oleh : Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI, Tamsil Linrung

REPUBLIKA.CO.ID,  Nusantara bukan retorika imajiner yang menjelma menjadi mitos persatuan. Nusantara adalah rumah besar yang dibangun sebagai manifestasi kemajemukan yang beraneka warna. Rumah besar ini dihuni oleh keyakinan, adat, budaya, dan identitas yang berbeda. Dirajut dalam satu atap negara bangsa bernama Indonesia.  

Imajinasi tentang keindonesiaan kita adalah keberagaman yang dikelola dengan harmoni dan semangat saling menghormati. Tidak boleh tumbuh intensi untuk mendominasi, apalagi ambisi melakukan hegemoni. Semua ruang di negeri ini terbuka untuk menyerap berbagai aspirasi, menjadi wadah yang menampung keragaman, dan meruntuhkan sekat-sekat yang memicu isolasi. Sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh mengkerdilkan diri.

Dalam konteks ini, saya menyambut baik pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang menyoroti minimnya kehadiran simbol-simbol keislaman di kawasan strategis Jakarta seperti Jalan Thamrin, Sudirman, Kuningan, hingga Pantai Indah Kapuk (PIK). Pernyataan tersebut tidak semata kritik terhadap kurangnya infrastruktur fisik peribadatan umat Islam di ruang yang terkesan eksklusif. Ia adalah gugahan terhadap semangat keindonesiaan. Sebuah seruan moral untuk menata wajah bangsa secara adil, merata, dan terbuka. Semua anak bangsa harus hidup rukun dan berbaur.  

Keprihatinan tersebut mencerminkan tantangan besar dalam menjaga harmoni keberagaman di Indonesia. Data menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Menurut Pew Research Center (2021), 231 juta dari total populasi adalah Muslim. Namun, harus jujur diakui, meski mayoritas, tapi kehadiran simbol-simbol keagamaan yang proporsional di ruang publik kadang kala belum mencerminkan keberagaman kita secara inklusif.  Ada wilayah tertentu di negeri ini yang terkesan dikelola untuk komunitas tertentu. Kesan itu, lambat laun menciptakan jarak sosial yang memicu polarisasi.

Indonesia adalah milik bersama, bukan milik satu agama, suku, atau budaya tertentu. Jakarta, sebagai kota destinasi persilangan identitas dari berbagai penjuru negeri, harus menjadi cermin terbaik representasi keragaman Indonesia. Ketika satu komunitas mendapatkan ruang istimewa  mengekspresikan keyakinannya, maka komunitas lainnya juga berhak atas hal yang sama. Kehadiran rumah ibadah, baik masjid, gereja, pura, vihara, atau kuil, adalah simbol bauran dan asimilasi lintas identitas yang harus dijaga.  

Pakar sosiologi agama, Profesor Robert Wuthnow dari Princeton University, pernah mengatakan, "Toleransi bukan sekadar menerima kehadiran yang berbeda, tetapi menciptakan ruang di mana semua merasa dihormati." Ungkapan tersebut relevan dengan gagasan kita tentang bauran kebinekaan. Asimilasi yang sehat bukan berarti menghapus perbedaan, tetapi merayakannya dalam bingkai kebersamaan.    

Langkah untuk menghadirkan simbol-simbol keislaman seperti masjid dan lantunan kumandang azan bukanlah ekspresi dominasi. Tetapi manifestasi keadilan sosial. 

Perencanaan pembangunan kota yang inklusif harus jadi arsitektur antropologi Indonesia. Seperti diusulkan oleh Menag tentang pendirian Islamic Center di kawasan PIK, merupakan inspirasi yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Laporan UN Habitat (2022) menyebutkan, bahwa kota yang inklusif dan memfasilitasi kebutuhan spiritual penduduknya cenderung memiliki tingkat kohesi sosial  lebih tinggi.  

Era industrialisasi sering kali memaksa para pelaku bisnis mendesain satu wilayah  sebagai simbol eksklusivitas ekonomi, budaya, atau agama. Fenomena seperti ini adalah ancaman nyata bagi keutuhan bangsa. Tidak boleh ada ruang di Indonesia yang dikelola justru seolah mempromosikan ketimpangan. Didesain berbeda dan jomplang dengan kawasan di sekitarnya.

Sebagaimana diingatkan oleh sosiolog kenamaan Clifford Geertz, keberagaman dalam sebuah negara multikultural seperti Indonesia, dapat menjadi kekuatan. Tetapi juga memendam sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. 

Maka, tugas kita bersama adalah memastikan bahwa setiap sudut Indonesia, dari kota metropolitan seperti Jakarta hingga pelosok desa di ujung negeri, menjadi ruang inklusif dan memancarkan semangat persatuan serta kesetaraan.  

Keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan. Namun, kekuatan ini hanya akan terasa jika dirawat dengan kebijakan yang adil. Ketika pemerintah, tokoh masyarakat, pelaku bisnis dan komunitas agama bekerja sama membangun ruang yang setara bagi semua, maka kita sedang membangun sebuah bangsa yang oleh Presiden Prabowo disebut tidak hanya besar secara wilayah, tetapi juga besar dalam semangat persatuannya. Besar jiwanya.

Saya mengajak semua pihak, tokoh agama, pemerintah, pelaku bisnis dan elemen masyarakat lainnya, untuk menjaga semangat harmoni ini. Mari kita bangun keindonesiaan yang inklusif, di mana setiap individu merasa memiliki ruang untuk hidup, beribadah, dan berkontribusi bagi negeri ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement