Rabu 12 Mar 2025 11:45 WIB

Kebijakan Mudik 2025 dan Kepentingan Publik, Bedah Kebijakan Tarif Transportasi Pemerintah

Mudik bukan sekadar peristiwa transportasi, tapi juga soal keadilan sosial.

Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) berbincang dengan Menteri Keuangan Sri Mulayni (kedua kiri), dan Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) saat meninjau fasilitas Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (1/3/2025). Pemerintah resmi menurunkan harga tiket pesawat penerbangan dalam negeri sebesar 14 persen, hingga tarif perjalanan tol selama periode mudik Lebaran Idul Fitri 1446 Hijriah atau 2025 Masehi, yang dapat dibeli mulai 1 Maret hingga 7 April 2025.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) berbincang dengan Menteri Keuangan Sri Mulayni (kedua kiri), dan Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) saat meninjau fasilitas Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (1/3/2025). Pemerintah resmi menurunkan harga tiket pesawat penerbangan dalam negeri sebesar 14 persen, hingga tarif perjalanan tol selama periode mudik Lebaran Idul Fitri 1446 Hijriah atau 2025 Masehi, yang dapat dibeli mulai 1 Maret hingga 7 April 2025.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

Mudik 2025 kembali menjadi momentum besar bagi masyarakat Indonesia. Sebagaimana tradisi tahunan, jutaan warga akan melakukan perjalanan pulang kampung untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga tercinta.

Pemerintah telah mulai menyiapkan sejumlah kebijakan untuk memastikan arus mudik berjalan lancar, aman, dan tertib. Namun, jika kita telaah lebih dalam, kebijakan-kebijakan yang dirancang pemerintah tampaknya belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan publik, terutama rakyat kelas menengah ke bawah.

Ada beberapa langkah yang sebenarnya sangat rasional dan layak diambil untuk mendukung rakyat, tetapi hingga kini belum menjadi prioritas.

Rencana Pengaturan Arus Mudik 2025 Yang Setengah Hati

Untuk menghadapi mudik 2025, pemerintah telah menyiapkan berbagai skema pengaturan. Pertama, kebijakan Work From Anywhere (WFA) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan diterapkan mulai 24 Maret 2025. Kebijakan ini dimaksudkan agar ASN bisa memulai perjalanan mudik lebih awal sehingga tidak menumpuk di puncak arus mudik.

Kedua, program mudik gratis yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan bagi masyarakat, terutama yang menggunakan moda darat dan laut. Program ini terbukti membantu sebagian masyarakat, meskipun kapasitasnya masih terbatas dan hanya bisa menjangkau sebagian kecil pemudik.

Ketiga, rekayasa lalu lintas berupa one way, contra flow, dan ganjil-genap di jalan tol utama yang menghubungkan Jakarta hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini dimaksudkan untuk mengurai kemacetan, meskipun kenyataannya rekayasa semacam ini seringkali tidak cukup menahan laju volume kendaraan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pemerintah juga mengimbau koordinasi lintas sektor, termasuk dengan pemerintah daerah, untuk memantau pasar tumpah, lokasi rawan kecelakaan, dan menyediakan angkutan lanjutan di berbagai titik kedatangan. Selain itu, Rencana Pengaturan Arus Mudik 2025 juga tampak setengah hati ketika bicara soal keringanan biaya transportasi.

Pemerintah memang merilis kebijakan penurunan harga tiket pesawat sebesar 13-14 persen untuk masa mudik, namun tidak ada kebijakan serupa untuk moda transportasi lain seperti kapal laut, bus antarkota, atau kereta api ekonomi yang justru lebih banyak digunakan oleh masyarakat menengah bawah. Padahal, moda-moda transportasi ini menjadi tumpuan mayoritas pemudik dari kalangan pekerja informal, buruh, dan keluarga dengan pendapatan terbatas.

Ketimpangan ini menandakan bahwa pemerintah hanya fokus pada sektor transportasi udara yang umumnya dipakai kalangan menengah atas, sementara rakyat kecil tetap dibiarkan menghadapi harga tiket bus dan kapal laut yang memang diatur bisa melonjak jelang lebaran.

Jika pemerintah benar-benar ingin menciptakan mudik yang adil dan inklusif, diskon atau subsidi tarif harus merata untuk semua moda transportasi, bukan hanya pesawat yang dinikmati sebagian kecil masyarakat.

Dari semua kebijakan diatas, tampak jelas bahwa beban utama pengelolaan mudik masih diserahkan kepada rakyat sendiri. Masyarakat harus tetap mengatur jadwal keberangkatan, biaya transportasi, dan menanggung beban psikologis kemacetan parah yang bisa berlangsung puluhan jam.

Kebijakan seperti ini menunjukkan wajah negara yang belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan mayoritas rakyatnya.

Mengapa Pemerintah Tidak Melakukan Kebijakan Lain yang Akan Membantu Daya Beli Publik?

Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan adalah mengapa pemerintah tidak mengambil langkah-langkah tambahan yang secara nyata bisa membantu daya beli masyarakat?

Pertama, kenapa jalan tol tidak digratiskan atau setidaknya diberikan diskon penuh selama masa mudik? Sampai saat ini, belum ada satu pun pernyataan resmi dari pemerintah bahwa tol akan digratiskan untuk mendukung mudik.

Padahal, beban biaya tol menjadi salah satu komponen besar dalam ongkos mudik. Masyarakat yang mudik menggunakan kendaraan pribadi, terutama dari kalangan menengah ke bawah yang tidak mendapat fasilitas mudik gratis, harus membayar biaya tol yang sangat tinggi.

Dengan jarak Jakarta-Surabaya saja bisa menghabiskan Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta hanya untuk tol, belum termasuk bensin dan kebutuhan lain. Jika tol digratiskan, dampaknya langsung terhadap daya beli masyarakat, terutama untuk keperluan lebaran, akan sangat signifikan.

Kedua, penyediaan informasi lalu lintas secara real time yang akurat dan mudah diakses oleh masyarakat juga tidak terdengar menjadi prioritas. Pemerintah memang menyiapkan Command Center dan laporan lalu lintas, tetapi akses informasi ini sering tidak terintegrasi dengan baik ke masyarakat pemudik secara langsung.

Padahal, dengan teknologi saat ini, pemerintah bisa bekerja sama dengan provider atau aplikasi seperti Google Maps atau Waze untuk menyajikan update khusus arus mudik, bahkan disertai rekomendasi waktu keberangkatan dan jalur alternatif.

Ketiga, pengaturan lalu lintas untuk angkutan barang selama mudik juga tidak dibahas secara tegas. Setiap tahun, truk dan kendaraan berat masih berseliweran di jalan tol dan jalur arteri di masa-masa rawan mudik.

Padahal, jika pemerintah serius, larangan atau pembatasan operasional kendaraan barang di jalur utama mudik bisa meringankan beban lalu lintas secara signifikan. Apalagi angkutan barang besar kerap menjadi biang kemacetan di jalur sempit, jembatan timbang, atau rest area.

Keempat, subsidi bahan bakar untuk pemudik, terutama angkutan umum seperti bus, juga tidak dibahas secara konkret. Padahal, harga tiket bus sering melambung saat mudik.

Jika pemerintah mau, subsidi langsung atau pembebasan sebagian pajak dan bea bisa membantu menurunkan harga tiket bus dan kereta api, sehingga mudik menjadi lebih terjangkau bagi semua kalangan.

Alasan Mengapa Usulan Tersebut Masuk Akal Namun Belum Diterapkan

Semua usulan di atas—gratis tol, info real-time, pembatasan angkutan barang, subsidi transportasi—bukan ide yang sulit diterapkan. Bahkan secara teknis dan fiskal, pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukannya jika memang serius membela kepentingan rakyat.

Namun, sayangnya, politik anggaran dan orientasi kebijakan pemerintah hari ini cenderung setengah-setengah dalam berpihak kepada rakyat kecil. Misalnya, gratis tol selama seminggu mudik Lebaran sebenarnya bukan angka yang besar dibandingkan total penerimaan negara.

Keuntungan Jasa Marga dan operator jalan tol bisa dikompensasikan lewat mekanisme subsidi silang atau insentif dari pemerintah. Namun, karena pemerintah lebih fokus menjaga “keamanan” bisnis operator jalan tol, maka kebijakan pro rakyat ini tidak diambil.

Informasi lalu lintas real-time juga murah jika dibandingkan dengan manfaat sosial dan ekonomi yang bisa dihasilkan. Namun, karena tidak ada tekanan kuat dari masyarakat dan lembaga legislatif, pemerintah cenderung membiarkan inisiatif ini berjalan sporadis, hanya mengandalkan upaya parsial dari Korlantas atau aplikasi swasta.

Begitu pula pembatasan angkutan barang. Ada kepentingan besar dari asosiasi pengusaha truk dan logistik yang sering menjadi alasan mengapa pembatasan lalu lintas barang tidak dilakukan secara ketat.

Pemerintah khawatir pembatasan angkutan barang bisa “mengganggu distribusi logistik nasional”, padahal sebenarnya periode mudik adalah saat di mana kepentingan rakyat harus dikedepankan di atas segalanya.

Akhirnya, subsidi atau pengurangan biaya transportasi seringkali terhambat oleh alasan klasik: keterbatasan anggaran. Padahal, jika pemerintah mau, subsidi transportasi mudik bisa disusun lebih efektif dan tepat sasaran daripada sekadar mengucurkan bansos musiman yang sering tidak efektif.

Setengah-Setengah Bela Rakyat

Dari sini jelas bahwa pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan publik dalam urusan mudik, meskipun mudik adalah tradisi tahunan yang menjadi hak sosial masyarakat.

Kebijakan yang diambil lebih banyak bersifat administratif dan manajemen lalu lintas, tanpa ada upaya serius meringankan beban ekonomi masyarakat.

Padahal, dalam konteks ekonomi 2025, di mana daya beli masyarakat masih lemah akibat ketidakpastian global dan tekanan harga pangan, mudik mestinya jadi momentum pemerintah menunjukkan keberpihakan sosial yang nyata.

Jika pemerintah terus menghindari kebijakan yang secara langsung meringankan rakyat, maka kepercayaan publik kepada pemerintah bisa terus merosot.

Masyarakat akan melihat bahwa pemerintah hanya sibuk mengatur lalu lintas, tetapi lupa mengatur bagaimana rakyat bisa mudik dengan nyaman dan terjangkau.

Mudik bukan sekadar peristiwa transportasi, tapi juga soal keadilan sosial. Pemerintah harus mulai menempatkan kepentingan rakyat sebagai pusat dari setiap kebijakan mudik.

Jika mudik adalah simbol pulang ke kampung halaman, maka sudah seharusnya negara juga “pulang” ke fitrahnya: melayani dan melindungi rakyat, bukan sekadar melayani kepentingan pengusaha jalan tol, logistik, atau birokrasi sendiri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement