REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Pengembangan ekonomi berbasis maritim di Provinsi Riau kembali menjadi sorotan setelah berbagai pihak mengusulkan pentingnya menghidupkan kembali warisan pemikiran Brigjen TNI (Purn) H Saleh Djasit, Gubernur Riau periode 1998–2003, yang pernah mencetuskan gagasan besar bertajuk Visi Riau 2020.
Menurut DR Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT, MH, M Mar, pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) ini, Riau memiliki potensi luar biasa yang selama ini belum dioptimalkan secara sistemik dan berkelanjutan.
Pengembangan kekuatan ekonomi Riau dari sisi maritim merupakan peluang strategis yang belum sepenuhnya dioptimalkan.
"Sebagai salah satu Provinsi dengan garis pantai yang Panjang di Indonesia, kedekatan geografis dengan Selat Malaka, serta keberadaan wilayah pesisir yang luas, Riau memiliki modal dasar untuk menjadikan laut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” Capt Hakeng, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (2/5/2025).
Dia menambahkan bahwa sektor-sektor seperti perikanan, pariwisata bahari, perkapalan, dan transportasi laut menawarkan ruang ekspansi ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini, visi Saleh Djasit tentang pembangunan Riau berbasis maritim bukan hanya progresif, tetapi juga visioner. Visi Riau 2020 yang dicetuskan olehnya menempatkan Laut Selat Lalang sebagai pusat konektivitas dan distribusi regional melalui konsep Integrated Maritime Economy.
Gagasan tersebut menurut dia, mengintegrasikan pelabuhan, kawasan industri, dan jalur distribusi dalam satu sistem logistik laut yang terpadu.
"Wilayah-wilayah pesisir seperti Dumai, Bengkalis, Siak, Pelalawan, dan Indragiri Hulu dirancang sebagai simpul-simpul ekonomi yang saling terhubung,” tutur Capt Hakeng seraya menekankan bahwa pendekatan teknokratis dalam visi ini merupakan keunggulan tersendiri.
Saleh Djasit menggandeng konsultan asing dan perusahaan besar seperti Caltex Pacific Indonesia (CPI) untuk merancang perencanaan yang berbasis data dan sains.
“Lebih dari satu juta dolar AS diinvestasikan untuk studi kelayakan. Ini menunjukkan bahwa beliau sangat serius dalam membangun fondasi ekonomi maritim yang kokoh,” tutur dia.
Namun demikian, dinamika politik dan lemahnya kelembagaan membuat proyek ini tidak berlanjut setelah masa jabatannya berakhir.
Menurut Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, ketiadaan policy legacy yang terstruktur menyebabkan proyek tersebut tidak memiliki kesinambungan.
“Dalam kebijakan publik, ini disebut lemahnya institutional memory. Ketika kebijakan bergantung pada figur, bukan sistem, maka kesinambungan pembangunan menjadi rapuh,” katanya.
Dia mengatakan, kini seiring meningkatnya urgensi pembangunan infrastruktur dermaga di Buruk Bakul dan kawasan pesisir lainnya, warisan pemikiran tersebut harusnya kembali mendapat perhatian.