REPUBLIKA.CO.ID,KUALALUMPUR--Pemerintah Malaysia dinilai makin tidak toleran terhadap perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakatnya. Sepanjang tahun lalu, negeri jiran itu dikabarkan telah menahan sekitar 1.000 pengunjuk rasa sebagai pertanda rendahnya toleransi.
Ketegangan politik meningkat di dalam negeri Malaysia setelah survei pada 2008 menyebut kian berkurangnya dukungan bagi pemerintahan Perdana Menteri, Najib Razak. Ketegangan masih tinggi dan bisa meningkat lebih lanjut saat persidangan pemimpin oposisi Anwar Ibrahim atas kasus sodomi diteruskan pada bulan depan.
''Karena Perdana Menteri ingin mengembalikan kekurangannya pada 2008, 2009 terlihat tindakan keras terhadap perbedaan pendapat dan oposisi,'' kata koordinator kelompok Suara Rakyat Malaysia (SUARAM),John Liu.
Najib menjabat pada April 2009 berjanji untuk reformasi politik dan ekonomi untuk menghidupkan kembali koalisinya dan memikat investasi asing. Padahal sejak menjabat, Najib berjanji lebih toleran pada kritikan.
Tetapi dalam laporan tahunan SUARAM yang diterbitkan Rabu (21/7) mengatakan, meski dengan janji tersebut, 167 orang telah ditangkap pada Mei tahun lalu karena memprotes dicopotnya tokoh oposisi dari jabatannya di negara bagian Perak.
Pada Agustus 2009 sebuah unjuk rasa menyerukan abolisi bagi 589 orang yang ditahan karena peraturan keamanan dalam negeri atau ISA. ''Hampir 1.000 orang telah ditangkap oleh polisi karena berbagai tindakan protes damai, termasuk unjuk rasa memegang lilin, memakai baju hitam dan turut serta pada mogok makan," kata laporan tersebut.
Kebanyakan dari yang tertahan kemudian dibebaskan tanpa pernah didakwa, tetapi laporan tersebut mengatakan beberapa politikus oposisi sejak saat itu telah disidik untuk berbagai tuduhan, termasuk penghasutan. Koran yang dioperasikan oleh tiga partai besar oposisi belum lama ini diancam bakal ditutup dengan alasan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah.