REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Bau amis menusuk hidung di sela lalu-lalang nelayan dan pedagang ikan di Kampung Nelayan Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara. Tak perlu menunggu lama, seluruh badan pun terasuki bau tak sedap. Baju langsung lepek, apalagi terik mentari menyengat kulit.
Kondisi memprihatinkan, tampak saat memasuki peRmukiman di kampung nelayan itu. Di blok Empang kampung nelayan, rumah-rumah penduduk terbuat dari triplek yang berdiri di atas rawa keruh kehitaman. Jalan-jalan setapaknya, merupakan rawa yang ditimbun dengan cangkang-cangkang kerang. Harus memakai alas kaki yang tebal, agar tidak tergores tajamnya cangkang kerang ketika melintas di atasnya.
Seperti terlihat pada Selasa (22/6), di pesisir pantai kampung nelayan Muara Angke, banyak ibu-ibu yang sedang mengupas kerang ijo dari cangkangnya sebagai aktivitas rutin. Tak hanya perempuan saja yang berkutat dengan pekerjaan ini, para suami serta anak-anaknya pun terlibat menekuni mata pencarian yang bisa menopang ekonomi keluarga ini.
"Tiap pagi saya harus ke sini untuk mengupas kerang dari cangkangnya karena ini adalah pekerjaan rutin saya. Kalau nggak begini, anak-anak mau dikasih makan apa?" kata seorang ibu paruh baya. Maklum, satu drum jasa pengupasan cangkang kerang, hanya dihargai Rp 10 ribu.
Biasanya satu drum, dikerjakan oleh tiga orang dan dalam sehari maksimal dua drum yang bisa dikerjakan. Wajar, jika dengan penghasilan tiap orang per hari Rp 7.500, mereka harus melibatkan banyak keluarga untuk dapat penghasilan lebih.
Di tengah perkampungan nelayan itu, ada sosok Abdul Karim beserta rekan-rekannya mendirikan Yayasan Pewaris Negeri untuk membantu pendidikan 1.500 Keluarga di kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Yayasan yang berdiri sejak 2003 lalu , sudah berhasil mendirikan sekolah Taman Kanak Kanak yang bisa digunakan oleh warga sekitar.
"Yang mendaftar ke sini lebih dari 200 anak, tetapi kami hanya menampung tidak lebih dari 80 orang karena tempat yang sangat terbatas. Saat ini yang duduk di TK A ada 25 orang, TK B 23 orang dan 32 orang lainnya ada di play group," jelas Karim. Meski awalnya sekolah tersebut gratis bagi masyarakat kampung nelayan, tapi dengan keterbatasan dana, awal Maret 2010, Yayasan Pewaris Negeri memungut Rp 1.000 per siswa yang hadir setiap harinya.
Uang tesebut, menurut Karim, akan dialokasikan untuk honor empat orang guru yang mengajar dan untuk keperluan prasarana belajar siswa. Yayasan juga menjalin kerja sama dengan BAZNAS untuk membantu operasional sekolah tersebut. Semoga pendidikan masyarakat di kampung nelayan itu terselamatkan.