REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Rumah papan di pinggir empang itu sangat bersahaja. Hanya ada satu ruangan di dalamnya yang menjadi ruang tidur sekaligus ruang makan dan dapur. Penghuninya dua orang tua, Munadi (73) dan istrinya Niah (70). Dua ember besar berisi lumut hijau teronggok di depan pintu. Lumut itu biasa dijual untuk umpan memancing dan ternyata hari itu tidak terjual sedikit pun. Munadi pun termangu. Kemudian dia pergi ke pekarangan, menyeret dahan kelapa yang jatuh dan mengambili lidinya. Dia membuat sapu lidi setelah meraut pelan-pelan dibantu istrinya.
“Ini si Bapak padahal baru aja jatuh waktu naik pohon. Jatuhnya duduk, dan sudah lama kalau malam tidak bisa tidur,” tutur Niah. Munadi yang warga Desa Jampang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor itu memang tidak bisa duduk dengan sempurna. Ketika ditanya, dia hanya memegangi bagian bawah punggungnya. “Sakit mas!” katanya. Dengan pendapatan yang hanya Rp 20 ribu sehari --terkadang juga sering tidak dapat uang-- dia tidak sanggup berobat ke dokter.
Munadi adalah orang Betawi asli Cempaka Putih, Jakarta Pusat yang harus “terlempar” jauh hingga ke Bogor demi mencari nafkah. Munadi dan Niah punya beberapa anak, namun anak-anaknya pun kondisinya tidak dapat dijadikan tumpuan. “Anak juga mikirin hidupnya masing-masing, sama susahnya,” katanya lirih.
Setiap subuh, dia mengambil lumut di empang-empang untuk dijual menjadi umpan memancing ikan. Tak jarang, dua ember besar lumut itu harus dia buang sore harinya karena tidak laku. “Lumut memang cuman sehari umurnya, pagi ngambil, sore mati,” tuturnya.
Munadi dan Niah harus berpikir keras setiap hari untuk mengantisipasi lumutnya yang kemungkinan tidak laku. Macam-macam pekerjaan mereka lakukan, mulai dari membuat sapu lidi, membelah bambu menjadi kecil-kecil hingga mengumpulkan kayu. Semuanya demi satu tujuan, menyambung makan.
Munadi merasa beruntung sudah 6 bulan menjadi member di LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma) yang berada di areal bakal RST (Rumah Sehat Terpadu) Zona Madina, Desa Jampang, Kecamatan Kemang yang tak jauh dari rumahnya. Dengan kartu anggota yang selalu diselipkan di songkoknya, Munadi bisa dengan leluasa bertemu dokter dan mengeluhkan berbagai hal, pusing, mual, pegal linu dan sebagainya. “Kalau harus ke dokter di Puskesmas atau Rumah Sakit, kita mah kagak mampu bayarnya,” tukas Niah sambil terus meraut lidi yang masih kasar.
Munadi dan istrinya sangat berharap RST (Rumah Sehat Terpadu), yang dia dengar akan menjadi Rumah Sakit Gratis Khusus Dhuafa, cepat dibuka. Dia tahu bahwa saat ini pembangunan RST sudah berjalan, tepatnya pengerjaan lantai kedua.
“Saya pokoknya mendukung pembangunan RST. Kalau disuruh buat ngebantuin mbangun (menukang maksudnya—red.) selama masih mampu, saya mau,” katanya yakin. Insya Allah, Pak Munadi, harapan ini akan menjadi kenyataan, tentunya dengan bantuan dan uluran tangan para Donatur.