REPUBLIKA.CO.ID,DUBAI--Anggota Majelis Dewan Perdagangan dan Perindustrian Dubai, Thomson Reuters baru-baru ini merilis hasil penelitiannya. Ia menemukan fakta, dunia Muslim, belum memiliki satupun brand fashion Muslim yang terkemuka di dunia internasional.
"Kesenjangan di pasar (dunia) saat ini dikendalikan oleh para pemain utama industri fashion global, yang tidak sepenuhnya hadir untuk memenuhi kebutuhan pelanggan Muslim," kata Ketua Majelis Perdagangan dan Perindustrian Dubai, Abdul Rahman Saif Al Ghurair pada Zawya.com, Selasa (23/9).
Padahal jumlah warga Muslim di dunia diperkirakan mencapai 1,6 miliar atau 23 persen dari total populasi dunia. Kondisi inilah yang menjadi kesenjangan antara pasar pakaian, fashion dan desain Muslim dengan brand Islami.
Walaupun saat ini, dunia Muslim belum memiliki brand fashion lokal yang mendominasi pasar, menurut catatan dari 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), perusahaan pakaian lokal telah berhasil menunjukan kehadirannya.
Kesenjangan dalam pasar fashion dan desain Islam internasional memang cukup signifikan. Masih menurut penelitian yang dilakukan Thomson Reuters, pada 2012, populasi Muslim global menghabiskan 224 miliar dolar AS hanya untuk pakaian. Total pengeluaran ini mencapai 10,6 persen dari alokasi global di sektor pakaian.
Secara global, pada 2012, pengeluaran untuk pakaian dan alas kaki mencapai sekitar 2,1 triliun dollar AS. Dan diperkirakan akan meningkat pada 2018 menjadi sekitar 2,9 triliun dollar AS. Sementara itu, pengeluaran warga Muslim pada 2012 sebesar 224 miliar dollar AS, akan tumbuh menjadi 322 miliar dollar AS pada 2018. Atau sekitar 11,2 persen dari pengeluaran global.
Laporan Thomson Reuters juga menyebut, di antara negara-negara mayoritas Muslim, pada 2012 Turki sebagai negara dengan pengeluaran tertinggi untuk pakaia dan diikuti oleh Iran. Negara terkemuka lainnya adalah Indonesia, Mesir, Arab Saudi, Pakistan dan Uni Emirat Arab.