Kamis 06 Apr 2017 18:17 WIB

Temu Sastrawan Asia Tenggara Bahas Karya Denny JA

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Dialog dalam temu sastrawan Asia Tenggara
Foto: Panitia temu sastrawan
Dialog dalam temu sastrawan Asia Tenggara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia sastra yang selama ini diam, tiba-tiba bergolak. Isu-isu sosial yang sensitif yang dahulu pantang digubah dalam puisi, tiba-tiba dikuak dan dipertanyakan.

Masalah pernikahan antar agama, kekerasan terhadap minoritas, dan kasus LGBT (lesbian, gay, dan biseks, dan transgender), misalnya, dibuka dalam dunia sastra. Bagai kotak pandora, masalah-masalah yang dulu tertutup dalam sastra ini, kini ramai dibincangkan oleh para penyair. Dampaknya, kini dunia sastra makin terlibat dalam pergumulan hidup sehari-hari manusia modern.

Demikian  salah satu isu yang dibicarakan dalam Temu Sastrawan Asia Tenggara di Sabah, Malaysia pada 4 April hingga 5 April kemarin. Sastrawan empat negara, yaitu dari Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Brunei Darussalam berkumpul membahas isu sosial dalam 24 buku puisi Denny JA.

“Denny JA sengaja memilih isu sosial tidak popular untuk dituangkan dalam puisi-puisi esainya, sehingga muncul kontroversi. Dan sangat sedikit sastrawan yang berani mengambil resiko berhadapan dengan massa mayoritas,” kata Jamal D. Rahman, penyair yang juga pemimpin redaktur majalah sastra Horison di acara itu, dalam siaran pers, Kamis (6/4).

Sementara itu sastrawan Sabah, Jasni Matlani, menyatakan kehadiran puisi esai Denny JA yang mendobrak konsep ketuhanan seperti melanjutkan puisi-puisi sufistik Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, dan Abdul Hadi WM. Dalam puisi berjudul “Burung Trilili Bertengkar dalam Persepsi” menurut Jasni yang juga Presiden Dewan Bahasa dan Sastra Sabah ini, sang penulis mencoba menggedor ideologi, pemikiran, dan konsep ketuhanan yang stagnan yang selama ini ada.

Adapun Profesor Madya Ampuan Dr Haji Ibrahim dari Akademi Pengajian Brunai Universitas Brunai Darussalam menilai puisi esai karya Denny JA  unik dan murni karena ia mempunyai gaya yang berbeda dengan kebanyakan karya puisi yang ada. Setiap puisi esai mengandung isu sosial yang berbasis peristiwa nyata.

Dalam Festival Sastra yang berlangsung selama bulan April di Sabah, hadir Menteri Pembangunan Masyarakat dan Hal Ehwal Pengguna Sabah, Datuk Hajah Jainab Datuk Sri Panglima Haji Ahmad Ayid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement