REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perilaku bullying atau perundungan memang tidak dibenarkan. Dilakukan pada anak normal saja tidak baik, apalagi jika dilakukan pada anak berkebutuhan khusus (ABK). Kasus ini baru saja terjadi di Kampus Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Salah satu mahasiswanya yang menyandang autisme diganggu oleh beberapa temannya.
Hal ini diketahui masyarakat luas lewat video yang menampilkan seorang mahasiswa sedang ditarik-tarik tasnya oleh mahasiswa lain. Video yang menjadi viral itu pun menuai keprihatinan publik, termasuk rasa geram kepada pelaku.
Menurut psikolog anak, Ine Indriani, peran dari perguruan tinggi adalah mengedukasi para mahasiswa dan mahasiswinya bahwa semua orang sama. Maka harus diperlakukan sama, tidak boleh ada perundungan.
“Apa yang harus dilakukan pihak perguruan tinggi, mau anak ABK atau tidak, tidak bisa dan tidak boleh bullying, ini bisa kena sanksi. Sanksi saja tidak membuat orang jadi jera, edukasi bagaimana tempat itu aman dan nyaman buat ABK tanpa harus membuat si ABK jadi manja,” ujarnya.
Yang harus dilakukan pihak perguruan tinggi terkait adalah memanggil para pelaku perundungan. Tanyakan mengapa mereka melakukan seperti itu, tanyakan mengapa mereka sampai bisa tidak berperikemanusiaan seperti itu. “Harus ada sanksi karena anak ini sudah besar, karena dia melakukan itu dengan sadar dan di lingkungan kuliah,” tegasnya.
Dan untuk para orangtua, agar kejadian ini tidak terulang, sebaiknya orangtua sebelumnya harus tahu apakah ABK siap menghadapi pelajaran di kampus. Termausk paham metode pengajaran hingga kebijakannya.
Selain itu, orangtua harus tetap memantau apakah anaknya sudah mampu atau belum. Karena ABK tidak bisa dilepas begitu saja. Orangtua harus membekali ABK untuk siap menghadapi perundungan, misalnya menunjukkan rasa tidak suka atau menolak dirundung. Seperti yang dilakukan korban perundungan dalam video yang menjadi viral, dia melempar tong sampah kepada para pelaku perundungan.